Rabu 28 Aug 2019 17:26 WIB

Mahasiswa Papua Tuntut Polisi Transparan Usut Kasus Rasial

Sejak 19 Agustus 2019, mahasiswa Papua di Surabaya menjadi tertutup.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Ratna Puspita
[Ilustrasi] Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan 10 Surabaya, Jawa Timur.
Foto: Antara/Didik Suhartono
[Ilustrasi] Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan 10 Surabaya, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pendamping mahasiswa Papua di Surabaya, Sahura, menuntut aparat kepolisian segera mengungkap kasus dugaan tindakan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Tidak hanya itu, Sahura juga menuntut aparat kepolisian transparan dalam menangani kasus tersebut.

Artinya, siapa pun yang terbukti terlibat kasus rasial tersebut harus ditetapkan tersangka dan diproses. "Karena di situ di beberapa video ada beberapa orang TNI yang berseragam. Sesuai pernyataan sikap kami kemarin kasus ini harus diungkap dan transparan siapa pun pelakunya itu harus diproses di kepolisian," kata Sahura dikonfirmasi Republika, Rabu (28/8).

Baca Juga

Sahura tidak menyangkal sejak 19 Agustus 2019, mahasiswa Papua di Surabaya menjadi tertutup dan tidak menerima siapa pun untuk berkomunikasi. Sahura mengaku, pihak LBH Surabaya yang mendampingi para mahasiswa pernah menyanbangi asrama tersebut.

Namun, tidak banyak membicarakan soal perkembangan kasus dugaan rasial. "Kawan-kawan itu kan sejak 19 Agustus itu enggak mau menerima siapapun, termasuk wawancara dengan wartawan. Kapan hari saya sempat ke sana juga berbicara terkait beberapa hal. Tapi kalau soal perkembangan kasus kami tidak banyak berkomunikasi," ujar Sahura.

Kepolisian daerah Jawa Timur sebelumnya menyatakan akan segera menetapkan tersangka dalam kasus dugaan ujaran rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Namun, Sahura tidak menjamin, jika polisi menetapkan tersangka, dan kasus ditangani secara transparan, mahasiswa akan segera membuka diri untuk berkomunikasi dengan pihak lain.

"Entah sampai kapan mereka terbuka. Enggak ada jaminan kasus berjalan mereka terbuka. Belum tentu mereka diam karena menunggu proses hukum," kata Sahura.

Sahura tidak menjamin, para mahasiswa tersebut akan memenuhi panggilan kepolisian, jika sewaktu-waktu aparat penegak hukum membutuhkan keterangan terkait kasus dugaan ujaran rasial. Namun, kata dia, jika dilihat dari kasus-kasus sebelumnya, para mahasiswa kooperatif dan bersedia memenuhi panggilan polisi.

"Saya enggak bisa menjamin itu (mahasiswa memenuhi panggilan polisi jika keterangannya dibutuhkan). Tapi dalam kasus yang lain ketika dibutuhkan keterangannya, mereka datang dan saya yang dampingi," ujar Sahura.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement