REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat sejumlah evaluasi pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 berdasarkan hasil survei terhadap masyarakat. Salah satu evaluasi masyarakat adalah teknis pelaksanaan pemilu secara serentak menyulitkan pemilih.
Ketua Tim Survei P2P LIPI, Wawan Ichwanuddin, mengatakan berdasarkan survei, sebanyak 74 persen responden survei publik dan 86 responden survei tokoh sepakat bahwa pemilu serentak tahun ini menyulitkan pemilih. Alih-alih bisa memilih secara rasional kandidat yang akan memimpin negara dan menjadi wakil di parlemen, pemilih justru dipusingkan dengan hal-hal teknis.
"Sebab surat suara yang dicoblos terlalu banyak," Wawan dalam pemaparan rilis survei di Gedung Widya Graha, LIPI, Jakarta, Rabu (28/8). Untuk itu, sebanyak 82 persen responden survei tokoh berpendapat bahwa skema pemilu serentak harus diubah.
Selain temuan tersebut, ada sejumlah poin hasil survei yang dilakuakn LIPI. Pertama, pelaksanaan pemilu 2019 yang digelar secara serentak masih belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan pemerintah.
Tujuan pemilu, yakni terciptanya kestabilan pemerintahan yang dihasilkan dari keselarasan hasil pilpres dan pileg akibat efek ekor jas (coat-tail effect), tidak tercapai. Sebab, dia mengatakan, responden yang mengaku memilih caleg/parpol yang mendukung kandidat presiden/wapres pilihannya terlalu rendah, yakni sebesar 16,9 persen.
Temuan kedua, lanjut Wawan, mayoritas responden menilai bahwa pemilu serentak 2019 sudah dilakukan secara jujur dan adil baik di tingkat TPS (91,2 persen) hingga nasional (74,7 persen). Namun, sebanyak 47,4 persen responden setuju jika masih terjadi politik uang dalam pemilu 2019.
"Sebanyak 46,7 responden menganggap politik uang sebagai sesuatu yang wajar dan bisa dimaklumi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pemahaman sebagian masyarakat, ada atau tidak ada politik uang tidak menjadi poin penilaian integritas pemilu, " ungkapnya.
Temuan ketiga, penilaian tingkat kepercayaan terhadap lembaga demokrasi, yakni pers mendapatkan penilaian di bawah DPR (76 persen). Pada pemilu 2019 ini, pers mendapat penillaian sebesar 66,3 persen.
Kondisi ini tidak lepas dari maraknya hoaks yang beredar selama tahapan pemilu. Dalam survei tokoh, sebanyak 93 persen responden cenderung sepakat jika penyebaran hoaks selama Pemilu 2019 sangat masif.
Temuan keempat, lanjut Wawan, mayoritas responden dalam survei publik (54,2 persen) tidak sepakat isu agama dipakai dalam politik. Namun, di lain pihak, angka responden dalam survei publik yang keberatan memilih caleg yang berbeda agama dengan mereka cukup tinggi, yakni 41 persen.
Survei tokoh pun mendukung hal ini. Dalam survei tokoh tercatat sebanyak 80,7 persen responden menjawab bahwa latar belakang agama caleg menjadi pertimbangan dalam memilih.
"Hal ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertimbangan soal latar belakang etnis yang hanya 73,9 persen. Hal ini menunjukkan bahwa identitas terutama agama masih menjadi isu relevan dalam politik Indonesia," tambah Wawan.
Survei yang dilakukan P2P LIPI ini melibatkan sebanyak 1.500 responden dari 34 provinsi. Survei dilakukan dengan metode multistage random sampling dengan margin of error sebesar lebih kurang 2,53 persen dengan tingkatkan kepercayaan 95 persen.