Rabu 28 Aug 2019 18:59 WIB

Dokter Polri Ikut Suara IDI Soal Eksekutor Kebiri

Dokter Polri akan tetap mengikuti yang menolak menjadi eksekutor.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andi Nur Aminah
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo
Foto: Antara/Reno Esnir
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polri menyatakan, dokter-dokternya akan mengikuti kode etik kedokteran terkait usulan menjadi eksekutor kebiri kimia untuk terpidana pelaku pelecehan seksual Aris (20 tahun) di Mojokerto. Dokter Polri akan tetap mengikuti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menolak menjadi eksekutor.

"Kalau dari Polri, aturan kita kalau itu memang kode etik profesi maka kode etik dari IDI yang digunakan," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo di Ancol, Jakarta Utara, Rabu (28/8).

Baca Juga

Dedi menjelaskan, meskipun dokter berada di bawah Polri, dokter tersebut akan tetap mengikuti kode etik yang diterapkan oleh IDI. Termasuk eksekusi pada terpidana pelecehan seksual di Mojokerto.

"Jadi itu digunakan profesi dokter, mau dokter itu dari polisi maupun tentara dari instansi manapun harus tunduk pada kode etik profesi. Ini kan dari perspektif kedokteran yang paling paham," ujar Dedi.

Maka itu, Dedi pun menyatakan, dokter dari Polri akan tetap menyesuaikan pada sikap IDI yang menolak melakukan kebiri kimia. Pengurus Besar Ikatan IDI menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia pada terpidana kejahatan seksual. Kebiri kimia pada terpidana dinilai bukan bentuk pelayanan medis.

"Saat itu kami mempersilakan kalau mau ada hukuman kebiri kimia, apalagi sudah jadi hukum positif. Tetapi kami minta jangan menunjuk tenaga medis atau tenaga kesehatan sebagai eksekutor," ujar Ketua Umum IDI Daeng M Faqih saat dihubungi Republika.

Ia menyebutkan, IDI punya alasan. Pertama, kebiri kimia bukan pelayanan medis melainkan hukuman. Jadi, ia menegaskan ini bukan ranah tenaga medis atau kesehatan. IDI pun mempersilakan pemerintah menunjuk eksekutor di luar tenaga medis. Apalagi, ia menyebut eksekusi hukuman kebiri kimia tidaklah sulit.

Anggota DPD RI Fahira Idris meminta Menteri Kesehatan mencari jalan keluar penolakan itu. Pasalnya, kebiri kimia sudah merupakan perintah pengadilan dan amanat UU Perlindungan Anak. "Opsi menggunakan dokter dari satuan kepolisian untuk melakukan kebiri kimia bisa menjadi salah satu pertimbangan," kata Fahira.

Diketahui Muh Aris (20) seorang tukang las asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, menjadi terpidana pertama yang harus menjalani hukuman kebiri kimia setelah terbukti melakukan perkosaan terhadap sembilan anak.

Ia melakukan aksinya sejak tahun 2015 dan baru diringkus polisi pada 26 Oktober 2018. Aris sempat minta banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur karena tidak terima dengan putusan hakim. Namun, oleh hakim PT, putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto justru dikuatkan.

Vonis tersebut tertuang dalam Putusan PTSurabaya nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY tanggal 18 Juli 2019. Putusan ini pun dianggap berkekuatan hukum tetap lantaran Aris tak lagi mengajukan keberatan alias kasasi.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement