REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Lebih dari 1,3 juta orang menandatangani petisi online menuntut Perdana Menteri Inggris Boris Johnson membatalkan rencana kontroversial membekukan parlemen, Kamis (29/8).
Dilansir di CNN, petisi resmi telah diunggah di halaman Government and Parliament Petitions Inggris tak lama setelah pengumuman penangguhan, Rabu pagi (28/8). Langkah ini akan mengurangi waktu bagi Anggota Parlemen untuk mencegah keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE) atau Brexit tanpa kesepakatan pada 31 Oktober.
Parlemen mempertimbangkan semua petisi yang melebihi 100 ribu tanda tangan untuk diperdebatkan. Pemerintah harus mengeluarkan respons setelah 10 ribu tanda tangan.
Sementara itu, para pemrotes berkumpul di luar Parlemen pada Rabu malam. Petugas polisi di tempat kejadian menyatakan bahwa sekitar 1.000 hingga 1.500 pengunjuk rasa hadir.
Kemudian sekelompok pemrotes kemudian pindah ke gerbang Downing Street, memblokir Parliament Square. Beberapa pemrotes terdengar berteriak, "Boris pembohong," dan "Turunkan Boris".
Johnson berharap menegosiasikan kembali kesepakatan itu. Akan tetapi dengan London dan Brussels yang terjebak dalam jalan buntu, negara itu sekarang menuju skenario tanpa kesepakatan.
Para kritikus Johnson mengecam langkah itu sebagai tindakan yang berpotensi tidak konstitusional dan tidak demokratis. Pemimpin partai oposisi Partai Buruh, Jeremy Corbyn menyebut penangguhan parlemen sebagai penghancuran dan perebutan demokrasi Inggris. Juru Bicara Parlemen Inggris, John Bercow menyebutnya sebagai kekejaman konstitusional.
Sebelumnya, Johnson meminta Ratu Elizabeth II untuk menangguhkan parlemen sampai 14 Oktober, beberapa pekan sebelum batas waktu Brexit. Dalam sebuah surat yang dikirim ke anggota parlemen pada Rabu, Johnson mengatakan dia meminta Ratu untuk menunda parlemen antara 9 September-14 Oktober.
Johnson telah menyatakan dia akan tetap mengeluarkan Inggris dari UE pada 31 Oktober. Meskipun ia yakin dalam menegosiasikan kesepakatan dengan Brussels, namun ia juga membuat persiapan Brexit tanpa kesepakatan. Parlemen Inggris telah berulang kali menolak kesepakatan Brexit yang dibuat perdana menteri sebelumnya, Theresa May.