REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Sinode Gereja Kingmi, Benny Giay, mengungkapkan, pihaknya telah menyebarkan selebaran kepada masyarakat di Papua. Selebaran tersebut berisi imbauan untuk melakukan unjuk rasa dengan tidak anarkis dan tidak mengibarkan lagi bendera bintang kejora.
"Kami sudah mengimbau, kami harap tidak mengibar bendera bintang kejora lagi, tidak bakar bendera lagi yang merah putih, tidak boleh bawa alat tajam, tidak boleh anarkis," ujar Benny saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (29/8).
Benny mengatakan, imbauan tersebut disebarkan dengan menggunakan selebaran kepada masyarakat Papua. Imbauan tersebut dilakukan karena belajar dari apa yang terjadi di Deiyai, Papua, kemarin. Aksi unjuk rasa yang berujung rusuh yang memakan korban jiwa.
Ia menuturkan, saat ini, memang masih ada aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat Papua di beberapa titik, salah satunya di Jayapura, Papua. Menurut dia, massa yang hendak menuju lokasi unjuk rasa mengalami penghadangan beberapa kali. Dari Sentani, Waena, dan Abepura, misalnya.
Massa mendapatkan hadangan minimal satu kali untuk menuju lokasi unjuk rasa. Mereka harus berulang kali bernegosiasi untuk mencapai lokasi tersebut. Ia menduga, hadangan itulah yang menyebabkan emosi massa tersulut.
"Mereka dihalangi di beberapa titik. Sudah mau jam 1 (WIT) ini, waduh baru sampai Waena itu ya. Lalu sampai Sentani itu dua, tiga, empat kali dihalangi. Setelah negosiasi baru jalan lagi," tuturnya.
Ia pun mengatakan, seharusnya, massa yang hendak melakukan unjuk rasa itu tidak perlu dihalang-halangi. Mereka, kata dia, hendak berunjuk rasa merespons tindakan rasisme yang terjadi di beberapa daerah di Jawa Timur beberapa waktu lalu.
"Kemarin ujaran-ujaran rasis itu tidak ada langkah dari pemerintah dan itu bukan baru. Tahun 2017 di Surabaya, Sleman sama itu, kemudian Malang. Sebelumnya tahun berapa itu di Yogyakarta. Jadi saya kira, aduh ini sudah sampai puncak ini," jelas dia.