REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia menegaskan komitmennya soal kontrak pengadaan 11 unit pesawat tempur Sukhoi Su-35 Super Flanker kepada Indonesia meski terdampak sanksi dari Amerika Serikat.
Dampak dari sanksi itu, menurut Rusia, juga berlaku untuk negara-negara lain dalam hal pembelian berbagai peralatan perang lain dari negara bekas pemimpin Pakta Warsawa itu.
“Kontrak pembelian Su-35 untuk Indonesia masih berlaku. Kami sedang bekerja bersama untuk merumuskan hal itu. Kami sedang membahas beberapa rincian kecil yang tercantum di dalam kontrak,” ujar Direktur Dinas Federal untuk Kerja Sama Teknis dan Militer Rusia, Dmitriy Shugaev, di sela pameran kedirgantaraan MAKS 2019, di Bandara Internasional Zhukovskyi, Rabu (28/8).
Dia menyatakan, Rusia berharap akan ada perkembangan dalam waktu dekat sehingga kontrak tersebut bisa terwujud. “Itu yang bisa saya katakan,” katanya.
Dmitriy menyatakan hal itu untuk menjawab pertanyaan banyak wartawan di seluruh dunia terhadap apa yang terjadi pada mereka dari sisi kebijakan internasional Amerika Serikat. Menyusul krisis bersenjata di Krimea pada 1994, AS mengeluarkan sanksi perdagangan internasional atas produk-produk militer dan sistem kesenjataan buatan Rusia. Sanksi yang dikeluarkan pada 2016 itu juga berlaku pada individu Rusia dan Ukraina yang terlibat dalam aneksasi Semenanjung Krimea oleh Rusia itu.
Sanksi itu dikenal sebagai Countering America's Adversaries Through Sanctions Act alias CATSA. Sanksi itu berimbas serius pada Indonesia yang sejak awal 2015 berencana akan membeli Sukhoi Su-35 Super Flanker sebagai calon pengganti F-5E/F Tiger II di Skuadron Udara 14 TNI AU.
Indonesia dan Rusia telah menandatangani pengadaan 11 unit Su-35 dari Rusia senilai Rp 1,14 triliun. Hal yang juga sangat mengait pada kontrak pembelian itu adalah pemberlakuan pasal-pasal dalam UU Nomor 16/2012 tentang Industri Pertahanan Nasional.
Di antaranya adalah mewajibkan imbal beli hingga 50 persen nilai kontrak, alih teknologi-alih pengetahuan, off set dalam nilai dan jumlah yang bertingkat-berjenjang, pelibatan industri dalam negeri, dan lain-lain.
“Maksud saya, terkait dari sisi mereka dan sebagainya. Jelas sekali bahwa ini merupakan kompetisi yang tidak adil,” kata Shugaev tentang dampak dari CATSA itu.
Menurut dia, Amerika Serikat ingin menyingkirkan Rusia dari pasar persenjataan dunia dan menciptakan keadaan di mana Rusia tidak dapat menanggung maupun meraih pasar-pasar yang baru.
“Tekanan kepada mitra-mitra (pelanggan) kami dari negara manapun, terjadi dengan cara yang tidak terhormat. Tekanan terjadi setiap hari dan ini bukan rahasia lagi,” katanya.
Beberapa negara yang akan membeli sistem kesenjataan strategis dari Rusia, katanya, juga terkena sanksi CATSA. Salah satunya yang paling jelas adalah Turki, yang sejak awal menyatakan ketertarikan dan menunjukkan komitmen pembiayaan pada proyek pembangunan pesawat tempur multi peran generasi 5+, yaitu F-35 Lighting II.
Turki secara sepihak dikeluarkan Amerika Serikat dari konsorsium itu karena berkeras membeli sistem peluru kendali anti-serangan udara generasi terkini dari Rusia, yaitu S-400 Triumph. Pada MAKS 2019, Presiden Turki, Recep Erdogan, hadir membuka MAKS 2019 bersama koleganya, Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Erdogan tetap kukuh pada pendiriannya membeli S-400 yang digadang-gadang lebih canggih dan mematikan ketimbang sistem MIM-104 Patriot buatan Raytheon, Amerika Serikat. Bahkan pemberitaan menyatakan seloroh Erdogan kepada Putin akan membeli Sukhoi Su-57E dari Rusia saat meninjau langsung kokpit pesawat tempur dengan teknologi stealth yang disebut-sebut mampu menjawab perlawanan F-22 Raptor buatan Lockheed Martin. Sukhoi Su-57E (versi eksport yang belum memiliki nama julukan alias nickname) muncul dan terbang perdana secara solo atau dalam formasi di muka publik pada MAKS 2019 ini.
Penjualan S-400 dari Rusia kepada Turki, kata Shugaev, merupakan contoh yang paling bagus sebagaimana halnya dengan pengadaan S-400 Triumph kepada India yang tetap berjalan sesuai kontrak. Lalu penjualan Su-35 Super Flanker kepada China serta pendirian pabrik Kalashnikov di India, salah satu negara yang "paling royal" dalam pembelian arsenal dan sistem kesenjataan dari Rusia.
“Jadi, kerja sama teknis dan militer dengan negara-negara mitra tetap berjalan walau ada sanksi yang diterapkan dari Amerika Serikat,” kata dia.
Meskipun demikian, ia mengatakan, Rusia tetap ada bersama mereka dan tidak akan meninggalkan negara-negara mitranya tersebut. Untuk menegaskan komitmennya itu, dia menyatakan, “Kami tetap berjalan sekaligus menjamin posisi kami dan tidak akan mengurangi volume penjualan kami. Dan, porto folio kami malah tidak berkurang karena terus bermunculan komitmen dari kedua pihak.”
Ia menekankan, hal itu lebih penting daripada yang ia sebut sebagai tren tahunan penjualan senjata. Ia pun memastikan, Rusia akan tetap hadir memenuhi komitmennya.
“Rusia tetap hadir dan memenuhi komitmen sesuai dengan perjanjian internasional,” katanya.