Jumat 30 Aug 2019 08:57 WIB

Ini Alasan DPR Pertahankan Pasal Penghinaan Presiden

DPR mengklaim sudah mengambil jalan tengah terkait Pasal penghinaan Presiden

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Esthi Maharani
Politikus Nasdem sekaligus Anggota Komisi III DPR RI Teuku Taufiqulhadi.
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Politikus Nasdem sekaligus Anggota Komisi III DPR RI Teuku Taufiqulhadi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panitia Kerja (Panja) Rencana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) DPR RI menjelaskan alasan tetap dipertahankannya pasal penghinaan presiden dan wakil presiden. DPR mengklaim sudah mengambil jalan tengah dari berbagai pro dan kontra yang timbul dari pasal itu.

Anggota Komisi III DPR RI Taufiqulhadi mengakui, kebebasan ekspresi merupakan amanat konstitusi yang merupakan adopsi dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). "Namun kebebasan berekspresi sesuai konstitusi juga terbatas karena terkait kehormatan atau hak dan kepentingan orang lain, atau unsur-unsur keamanan negara," ujar Taufiqulhadi saat dihubungi Jumat (30/8).

Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan pasal tersebut yang tertuang di RKUHP pada 2006 silam. Memasukkan kembali pasal tersebut di RKUHP pada Pasal 218 - 220 pun mengalami penolakan dari koalisi masyarakat sipil.

Taufiqulhadi menyebut, jalan tengah dari pro dan kontra itu adalah dengan menjadikan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden sebagai delik aduan absolut. Artinya, Presiden atau Wakil harus melaporkan sendiri bila merasa dihina atau diganggu kehormatannya. Pelaporan itu pun tidak bisa diwakilkan oleh aparatur negara lainnya.

"Delik ini dibuat delik aduan dengan beban utk menyertakan dua alat bukti dan pembuktian unsur kesengajaan kejahatan," ujar Taufiqulhadi.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menjadi salah satu pihak yang telah lama menyuarakan tuntuan agar pasal tersebut dihapus. Presiden dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia.

Maka presiden harus bisa dikritik oleh setiap warga Negara, sehingga tidak dapat dipisahkan perannya sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan.

"Hal ini jelas merupakan kemunduran bagi demokrasi di Indonesia, dan Perumus RKUHP belum sepenuhnya paham konsep reformasi hukum pidana di Indonesia," ujar Direktur Eksekutif ICJR Anggara, dalam keterangan yang dibagikan ke Republika, Kamis (29/8).

ICJR juga menekankan, pasal penghinaan presiden tidak relevan untuk negara demokrasi, seperti dituangkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan 013-022/PUU-IV/2006. Jika dalam KUHP Indonesia masih memuat Pasal Penghinaan Presiden yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.

"Pemerintah dan DPR tidak pernah punya alasan kuat harus menghidupkan pasal penghinaan presiden," ujar Anggara.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement