Jumat 30 Aug 2019 11:11 WIB

Imam Besar Istiqlal: Berdakwahlah Santun Seperti Nabi

Saat ini banyak yang mengaku mubaligh, tetapi kelakuannya tak mencerminkan mubaligh.

 Imam Besar Masjid Istiqlal Nasarudin Umar (kanan) bersama Ketua DP MUI Din Syamsuddin saat menghadiri Rapat Pleno ke-7 Dewan Pertimbangan MUI di Jakarta, Rabu (20/4).(Republika/Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Imam Besar Masjid Istiqlal Nasarudin Umar (kanan) bersama Ketua DP MUI Din Syamsuddin saat menghadiri Rapat Pleno ke-7 Dewan Pertimbangan MUI di Jakarta, Rabu (20/4).(Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakikat berdakwah adalah memberikan pencerahan dan pemahaman agama kepada jamaah sesuai Alquran yang identik dengan kesantunan, akhlakul karimah, dan rahmatan lil alamin. Oleh karena itu, para pendakwah atau mubaligh harus mengedepankan hakikat dakwah tersebut dengan meniru cara berdakwah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW yaitu berdakwah dengan santun, juga cara dakwah para Walisongo.

“Jadilah mubaligh yang enak, yang sejuk, yang baik, mubaligh yang mengajak dengan cara Nabi, dengan cara para aulia, ulama besar, maka semakin arif seseorang dalam berdakwah, itu menandakan dirinya semakin pintar,” ujar Imam Besar Masjid Isitiqlal Prof Nasaruddin Umar, Kamis (29/8).

Selain itu, lanjut Nasaruddin, berdakwah yang baik adalah berdakwah yang membawa kesejukan, kedamaian, dan ketenangan, bukan berdakwah untuk memecah belah, menjelekkan dan menyakiti orang lain. Hal itu pernah dilakukan para Wali Songo yang selalu menjadi tamu VVIP kerajaan lokal waktu itu karena para wali itu tidak pernah dianggap sebagai ancaman, apalagi akan melakukan kudeta.

“Gak usah berdakwah justru justru menyakiti, apalagi mengusir orang. Kalau belum apa-apa sudah ditakuti orang, itu bukan mencontoh Nabi, Walisongo. Coba bandingkan dengan Nabi, Walisongo, dan ulama kita terdahulu, baru melihat wajahnya saja sudah mengesankan, rindu, dan adem sekali,” kata mantan Wakil Menteri Agama RI ini.

Ia mengakui saat ini banyak orang yang mengaku mubaligh, tetapi kelakuannya bukan mencerminkan sebagai seorang mubaligh. Apalagi terkadang, mereka yang baru membaca Alquran terjemahan sudah mengklaim sebagai seorang hatau ulama. Alhasil, mubaligh seperti ini justru membuat perpecahan, ketakutan, dan korban di masyarakat.

“Akan banyak korban berguguran dari mulut seorang mubaligh yang seperti itu. Seorang mubaligh itu tidak akan pernah menyakiti publik dengan ucapannya. Saya pastikan itu bukan mubaligh kalau ceramahnya berisi adu domba, ujaran kebencian, apalagi fitnah. Sekali lagi itu bukan mubaligh, bisa jadi dia provokator,” ungkapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement