REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Provinsi Jawa Barat menyatakan kebutuhan masyarakat Jawa Barat berpenghasilan rendah terhadap rumah baru layak huni cukup tinggi. Pemerintah dan perbankan perlu memperhatikannya dengan menyiapkan kuota rumah dan kemudahan proses pengajuan kredit rumah.
"Di Jawa Barat ada sekitar 31.239 dan di tingkat nasional berdasarkan hasil rapat koordinasi DPP dan Apersi seluruh Indonesia pada 20 Agustus di Hotel Ibis Cawang Jakarta tercatat sekitar seratus ribuan masyarakat yang sudah siap akad," kata Ketua DPD Apersi Jabar Nurul Mubin melalui siaran pers di Garut, Jumat (30/8).
Ia menuturkan, kebutuhan perumahan baru dari angka akan akad atau perjanjian kredit dengan perbankan itu cukup tinggi sehingga perlu upaya memenuhinya agar masyarakat bisa memiliki rumah dengan cara mudah dan layak huni. Namun, adanya kebijakan pemerintah terkait pengurangan kuota rumah subsidi tentunya akan berdampak pada sulitnya mendapatkan rumah, bahkan yang siap akad juga terancam akan batal.
"Mereka (yang sudah siap akad) harus kecewa karena gagal mendapatkan rumah impian mereka," katanya.
Ia menyampaikan, program Presiden Joko Widodo mencanangkan sejuta rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang tentunya sangat diharapkan semua masyarakat berpenghasilan rendah untuk bisa memiliki rumah. Adanya pembatasan kuota rumah oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemukiman Rakyat tentunya akan berpengaruh terhadap tidak terpenuhinya keinginan warga Jabar, bahkan nasional untuk mendapatkan rumah.
"Tuntutan kami kepada Kementerian PUPR kalau kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Properti (FLPP) saat ini sudah habis, maka solusinya seperti apa, kalau mau ditambah berapa unit dan kapan penambahannya," katanya.
Ia berharap, Presiden Joko Widodo segera merealisasikan program pembangunan sejuta rumah bersubsidi dengan bertindak tegas kepada menteri dan seluruh kepala daerah di Indonesia untuk mendukung program itu. Selain itu, Kementerian PUPR harus lebih konsentrasi pada kebijakan dan program perumahan karena selama ini Kementerian PUPR lebih prioritas atau fokus mengurus tentang infrastruktur.
"Kami menyarankan pemerintah membentuk kementerian khusus untuk perumahan agar lembaga ini lebih konsentrasi terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk mendapat hunian yang layak," katanya.
Ia menambahkan, perbankan sebagai penyalur Kredit Pemilikan Rumah (KPR) lebih terbuka atau memberi solusi seperti program Subsidi Selisih Bunga (SSB) atau program lain yang bisa membantu masyarakat mendapatkan rumah. "Kami berharap semua bisa berpikir ini merupakan kepentingan masyarakat yang membutuhkan rumah," katanya.