REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Intelijen dan Terorisme, Harits Abu Ulya, menyarankan agar pemerintah segera membentuk Crisis Center (Pusat Krisis) di Papua. Hal itu disampaikan menyusul kondisi di Papua dan Papua Barat yang semakin memburuk.
Harist meminta agar pemerintah mulai mengurusi kompeleksitas masalah di Papua secara satu per satu. Pemerintah harus mulai fokus untuk mengurusi persoalan di Papua. Untuk itu, ia menyarankan agar presiden, kementerian, Kapolri, Panglima TNI berkantor di Papua atau Papua Barat.
"Buat Crisis Center di sana. Ambil keputusan-keputusan politik yang penting sesuai amanah undang-undang demi menjaga dan merawat kedaulatan NKRI. Keputusan yang komprehensif, terukur dan tuntas. Jangan gagap hanya karena pihak asing ikut bermain," ujar Haris dalam keterangan tertulisnya, Jumat (30/8).
Harist berpendapat, jika itu tidak segera dilakukan pemerintah, maka gejolak demonstrasi masyarakat sipil di Papua akan terus membesar. Hal itu akan menyulitkan Polri dan TNI untuk mengendalikan situasi di lapangan.
Pusat Krisis, kata dia, perlu segera direalisasikan karena adanya indikasi kiat propaganda dari luar negeri (asing) soal papua. Selain itu, kelompok separatis OPM juga cukup gencar membangun opini dan lobi-lobi internasional jelang sidang PBB.
"Dua komponen di atas saat ini mendapatkan 'angin surga' untuk terus bekerja mematangkan langkah-lankah politik menuju papua merdeka. Paling tidak melalui langkah politik refrendum; bekerja dengan massif mengagitasi masarakat sipil Papua bergerak larut bersama gerakan politik separatis OPM," tutur Haris yang menjabat Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) itu.
Untuk itu, lanjut Harist, langkah yang proporsional perlu segera diambil pemerintah sebelum kondisi semakin memburuk dan di luar kendali Pemerintah Indonesia. Ia pun yakin Pemerintahan Jokowi bisa mengatasi gejolak ini.
"Apalagi konon dukungan politik masyarakat papua saat pilpres kisaran 90% untuk bapak Jokowi. Ini menjadi modal sosial politik yang besar bagi Presiden Jokowi untuk duduk bicara dari hati ke hati," ucapnya.
Sepeti diketahui, kericuhan pecah di sejumlah kota di wilayah paling timur Indonesia itu sejak Senin (19/8) dan masih berlangsung di sejumlah kota hingga hari ini. Sejumlah fasilitas publik hancur akibat aksi tersebut. Personel tambahan dari Polri dan TNI juga telah dikerahkan ke sana.
Ribuan orang yang turun ke jalan merupakan buntut dari tindakan rasialis yang diterima mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, Jawa Timur.