REPUBLIKA.CO.ID, Seknas Gusdurian Hj Alissa Wahid menyampaikan tantangan keberagamaan Indonesia diera Reformasi. Konflik negara dan warga negara sebagai problematika Orde Lama dan terutama Orde Baru.
Sementara problem pada era reformasi bergeser dari konflik vertikal ke konflik horizontal antarkelompok masyarakat. “Dulu people vs state. Sekarang people vs people,” kata Hj Alissa Wahid forum diskusi terbatas di Sanur, Kota Denpasar, Jumat (30/8).
Forum bertema “Menyusun Strategi Gerakan Muslim Moderat” ini diselenggarakan Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Dalam Negeri. Forum ini dihadiri para tokoh masyarakat dan tokoh agama Islam di Bali.
Menurutnya, praktik seperti ini dipicu klaim-klaim mayoritas dan pandangan mayoritarianisme. Sementara hal itu terjadi karena demokrasi dipahami secara reduksi sebagai siapa yang menang sehingga mayoritas berhak semaunya.
“Mayoritarianisme di Indonesia berbasis agama apa saja, bukan hanya berbasis agama Islam. Di kantong minoritas Muslim di mana masjid dilarang. Bali lain lagi. Papua lain lagi. Jawa juga demikian. Di daerah lain beda lagi. Mayoritarianisme berbasis agama ini kemudian turun ke politik berbasis agama,” kata Hj Alissa.
Dia menyampaikan tantangan karakter komunal berbasis agama di Indonesia dan prinsip demokrasi yang disepakati di negara Pancasila dengan menjamin kebebasan individu berbasis hukum.
“Tantangannya, karakter komunal beragama dan karakter demokrasi yang berbasis hak individu. Ketika Munas NU memutuskan bahwa term kafir tidak ada dalam negara Indonesia karena pemahaman atas demokrasi yang berbasis individu. Tetapi ini di-reframing bahwa NU bidahnya keterlaluan,” kata Alissa.
Dia menyayangkan praktik-praktik kekerasan, eksklusivisme, dan praktik intoleransi terjadi di Indonesia dari “mayoritas” kepada “minoritas.”
Selain itu, dia juga menyebut fenomena keberagaman dalam Islam belakangan ini. Menurutnya, belakangan ini tumbuh kalangan menengah yang sedang bersemangat menjalankan agama Islam. Mereka umumnya berasal dari latar belakang pendidikan non-pesantren dan non-madrasah serta tidak berafiliasi kepada kelompok Islam yang sudah ada.
“Tantangan kita bukan LDII, Wasliyah, dan lain sebagainya. Tetapi 22 persen Muslim yang sama sekali tidak berafiliasi ke komunitas Muslim Indonesia. Mereka ini tantangan kita Indonesia,” kata dia.
Dia mengutip kajian Alvara pada 2015, kalangan tersebut berasal dari, sebut saja, “abangan” yang tidak kenal agama kemudian rentan kemasukan paham ikut Nabi kembali Alquran dan hadis, doktrin Islam kaffah. lissa.
Menurutnya, tindakan seperti ini dilakukan individu atau kelompok yang mengatasnamakan mayoritas. Mereka ini perlu diedukasi dan diajak berdialog secara intensif. “Artinya kita harus memanajemen kelompok-kelompok komunal ini dengan baik. Kita tidak bisa sekadar mengecam atau mencaci mereka,” kata Hj Alissa.