REPUBLIKA.CO.ID, JATINANGOR -- Penjabat Sekretaris Daerah (Sekda) NTB, Ir H Iswandi MSi, dinobatkan sebagai Doktor Ilmu Pemerintahan ke-81 di Indonesia dan yang pertama di NTB. Dalam disertasinya, Iswandi mengusung judul “Pengaruh Karakter Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Efektivitas Implementasi Kebijakan Pro Poor di NTB”.
Disertasi tersebut dipaparkan Iswandi di Gedung Pascasarjana Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Jawa Barat, Kamis (29/8). Pencapaian lain yang diraih Iswandi adalah predikat Cum Laude dengan IPK 3.82. Sejumlah pokok pikiran menarik terungkap dari disertasi doktor di program pascasarjana IPDN tersebut.
Disertasi itu memotret penanggulangan kemiskinan yang kita jalani selama ini dengan menjadikan pendekatan ekonomi sebagai panglima. Indikator makro ekonomi menjadi rujukan utamanya. Wajah kemiskinan kita pun ikut berfluktuasi sesuai pasang surutnya indikator makro ekonomi yang berkembang.
Dalam disertasinya, Iswandi menilai, tak ada yang salah dengan pendekatan ekonomi ini. Untuk jangka pendek, pendekatan ekonomi bisa menjawab persoalan kemiskinan dengan cepat. Tetapi kita perlu satu pendekatan yang bersifat jangka panjang dan mampu mengatasi kemiskinan secara lebih mendasar dan lebih berkelanjutan.
Penjabat Sekretaris Daerah (Sekda) NTB, Ir H Iswandi MSi, dinobatkan sebagai Doktor Ilmu Pemerintahan ke-81 di Indonesia dan yang pertama di NTB.
Memberikan kepastian
Pendekatan dimaksud adalah yang tidak semata-mata melihat orang miskin sebagai data statistik dan obyek sasaran aneka rupa bantuan dan program pembangunan. Satu pendekatan yang mampu memberikan kepastian orang miskin tumbuh dengan memiliki daya tahan (survivalitas) yang kuat. Bukan saja kuat menahan kemiskinannya, tetapi juga kuat untuk berjuang keluar dari garis kemiskinannya secara mandiri dan bertanggung jawab.
Kemampuan bertahan warga miskin, menurut Iswandi harus menjadi indikator penting dalam melihat kemiskinan. Daya tahan yang kuat akan menjadi pondasi yang kuat bagi orang miskin mengelola diri dan lingkungannya. Sehingga secara invidual maupun kolektif, orang miskin mampu merespon kemiskinannya dengan respon yang sehat dan produktif.
Daya tahan yang kuat itu sekaligus merefleksikan karakater diri orang miskin yang kuat pula. Dan itulah adalah modal sosial yang besar untuk melawan kemiskinan.
Membangun survivalitas pada diri orang miskin, tidak mungkin kita serahkan pada mereka sepenuhnya. Mereka butuh dukungan organisasi pemerintahan yang berperan sebagai pelaksana kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Karena itu, setiap unit kerja penanggulangan kemiskinan pada tingkatan apapun di pemerintahan, wajib dan mutlak harus memiliki karakter kepemimpinan yang baik dan budaya organisasi yang kuat terlebih dahulu.
Iswandi memaparkan, tanpa karakter kepemimpinan yang baik dan budaya organisasi yang kuat, unit kerja penanggulangan kemiskinan tidak mungkin dapat menjadi pendorong tumbuh kuatnya daya tahan orang miskin. Yang terjadi di unit kerja tersebut, tidak lebih dan tidak bukan hanya pelaksana teknis bantuan dan program yang bersifat administratif belaka.
Tanpa ada transformasi karakter di dalamnya. Akibatnya, tidak tercipta efektifitas penanggulangan kemiskinan yang hendak dicapai.
Efektivitas penanggulangan kemiskinan akan terjadi jika pendekatan ekonomi dan penguatan daya tahan orang miskin, menjadi satu paket penanggulangan kemiskinan yang komprehensif. Untuk itu, yang utama dan pertama adalah membangun karakter kepemimpinan yang baik dan budaya organisasi yang kuat pada tiap satuan dan unit kerja penanggulangan kemiskinan.
Setelah itu, setiap unit kerja ikut mendorong tumbuh kuatnya survivalitas orang miskin melawan kemiskinannya. Jika ini yang berjalan, kerja-kerja penanggulangan kemiskinan diyakini akan lebih efektif. Tepat sasaran dengan hasil yang optimal.