REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polri mengklaim, aksi unjuk rasa dan kerusuhan di Papua dan Papua Barat dalam dua pekan terakhir, tak menunjukkan mayoritas keinginan rakyat setempat yang menghendaki perdamaian. Polri meyakini mayoritas warga di Papua dan Papua Barat masih menghendaki untuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Pada prinsipnya Papua (dan Papua Barat) adalah Indonesia. Dan Indonesia (sebagian) adalah Papua (juga Papua Barat),” kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen M Iqbal di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (2/90).
Iqbal meyakini penilaiannya itu dengan melihat fakta sepanjang kerusuhan yang terjadi di Bumi Cenderawasih.
Meski mengakui kota-kota utama di Papua dan Papua Barat sempat lumpuh akibat demonstrasi anarkistis, namun kata dia, persentase keterlibatan anarkis tak sebanding dengan mayoritas warga setempat yang menghendaki unjuk rasa digelar damai dan tertib.
“Hitung saja berapa orang yang ikut demonstrasi? Berapa kabupaten dan kota yang (sempat) mengalami rusuh? Di kota-kota ataupun di kabupaten-kabupaten lain, masyarakatnya tetap ingin perdamaian, dan tetap NKRI,” ujar Iqba
Demonstrasi dan kerusuhan perdana, terjadi serempak di Manokwari, dan Sorong yang juga disambut dengan gelombang unjuk rasa damai di Jayapura. Lalu kerusuhan berlanjut di Fakfak, dan Timika, juga Wamena. Di Biak, juga sempat terjadi demonstrasi yang tak merusak.
Puncak kerusuhan paling anarkistis, terjadi pada Rabu (28/8) di Distrik Deiyai, dan Pania. Di Deiyai, unjuk rasa yang semula damai berujung ricuh dan menelan korban jiwa dari pihak keamanan dan perusuh serta puluhan warga sipil luka-luka. Pada Kamis (29/8), aksi gelombang unjuk rasa yang kembali rusuh terjadi di Jayapura. Dari rangkaian gelombang sosial itu, puluhan bangunan dan fasilitas umum rusak di bakar, dan kerugian juga menimpa sejumlah pribadi.
Rangkaian kerusuhan tersebut, sampai hari ini masih menjadikan Papua dan Papua Barat sebagai prioritas pengamanan tinggi bagi pemerintahan di Jakarta. Sebab sejak kerusuhan pecah, ada sejumlah pihak yang dianggap pemerintah memprovokasi warga untuk melakukan referendum atau menyatakan hak politik keluar atau bertahan bersama NKRI. Provokasi itu dianggap menyimpang dari pangkal masalah utama penyebab aksi demonstrasi yang terjadi di Papua dan Papua Barat.
Demonstrasi di Papua dan Papua Barat, sebenarnya berawal dari aksi turun ke jalan sebagai protes atas insiden rasialisme yang dialami para mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, dan Semarang pada pertengahan Agustus lalu.
Aksi turun ke jalan warga di Papua dan Papuab Barat, sebetulnya hanya sebagai bentuk protes turun ke jalan untuk mendesak pemerintahan di Jakarta, termasuk Polri dan TNI agar mengusut tuntas dan menghukum pelaku rasialisme di Jawa.
Petugas berjaga di halaman Lapas Abepura di Kota Jayapura, Papua, Ahad (1/9/2019).
Itu sebabnya, Iqbal melanjutkan, tuntutan referendum warga Papua dan Papua Barat menjadi tak relevan. Polri, pun kata Iqbal meyakini, aksi kerusuhan yang terjadi di Papua dan Papua Barat, terjadi lantaran adanya provokasi dari pihak-pihak yang tak menghendaki kedamaian di Papua dan Papua Barat.
“Ini ada indikasi-indikasi dari provokasi dari pihak-pihak yang lain. Kita (kepolisian) sudah memetakan orang-orang (yang dianggap provokator) ini,” jelas Iqbal.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian, pun sempat menyinggung dugaan keterlibatan warga negara lokal pun asing, yang mengompori agar Papua dan Papua Barat tetap rusuh. Pengkondisian situasi ricuh di Papua dan Papua Barat, menurut Tito sengaja dilakukan untuk tunggangan kelompok yang menghendaki provinsi paling timur itu lepas dari NKRI.
“Ada dari internasional, ada kelompok-kelompok ini. Ada hubungannya dengan network (jaringan) internasional. Jadi kita menangani situasi Papua ini, dari dalam dan juga luar negeri,” ungkap Tito.