REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Muharram merupakan salah satu bulan istimewa. Salah satu keistimewaannya adalah, bulan ini disebut sebagai bulan lebaran anak yatim. Mengapa bisa demikian?
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis, menjelaskan mengapa bulan Muharram identik dengan lebaran anak yatim.
Menurutnya, anggapan tersebut sebetulnya didasarkan pada sebuah hadis yang antara lain terdapat di kitab Tanbih al-Ghafilin. Dalam hadis tersebut disebutkan, Rasulullah bersabda, ”Man masaha yadihi ala ra'si yatiim yaum Asyura rafa'allahu ta'ala bi kulli sya'ratin darajah," kata dia kepada Republika.co.id, Senin (2/9).
Hadis tersebut, lanjut Cholil, menjelaskan bahwa siapa yang menyantuni anak yatim pada hari Asyura atau 10 Muharram, maka derajatnya akan dinaikkan Allah SWT.
Namun, hadis tersebut dianggap dhaif atau lemah oleh para ulama. Bahkan ada pula ulama yang menyebut hadis itu maudhu atau palsu karena di dalam sanad hadisnya terdapat perawi yang kurang dipercaya.
"Tetapi ada sebagian ulama berpendapat bahwa ini adalah (untuk) akhlak saja. Bahwa di hari Asyura, hari yang baik bagi umat Islam, lalu dijadikan momentum untuk kita mengenang dan mengikuti Rasulullah, yaitu menyayangi anak yatim," paparnya.
Cholil menyampaikan, Rasulullah sangat menyayangi anak yatim. Maka, hari baik Asyura itu dipakai sebagai momentum untuk menyantuni anak yatim. Hadis tersebut untuk mengasah akhlak umat Muslim agar senantiasa memberi kasih sayang kepada anak yatim.
"Sehingga, dengan hadis tadi yang ada di dalam kitab itu, kita diajari dan dimotivasi untuk menyantuni anak yatim," imbuhnya.