REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengingatkan perubahan pola konsumsi masyarakat saat ini yang sudah beralih dari beras ke gandum dan olahannya perlu diwaspadai. Dwi menjelaskan angka konsumsi gandum untuk pangan sudah mencapai 8,5 juta ton atau sekitar 30 kilogram per kapita per tahun.
Sedangkan konsumsi beras, menurut kajian Badan Pusat Statistik (BPS), sebesar 27 Kg per kapita per tahun. "Konsumsi gandum kita saat ini sudah di atas 25 persen dari beras. Saya anggap ini sudah masuk ambang bahaya karena 100 persen gandum kita diimpor," kata Dwi pada FGD terkait Kemandirian Pangan, Selasa (3/9).
Dwi memaparkan konsumsi beras menurun sebesar 200 ribu-300 ribu ton tiap tahunnya. Pada sisi lain, terjadi peningkatan konsumsi gandum sekitar 150 ribu ton tiap tahunnya (0,6 persen).
Proporsi gandum sebagai makanan pokok meningkat dari 21 persen pada 2015 menjadi 25,4 persen pada 2017. Perubahan pola konsumsi ini menyebabkan impor gandum melonjak.
Tren impor gandum yang kian meningkat telah terlihat sejak 1980-an, hingga pada 2018 mencapai lebih dari 12 juta ton. Volume ini membuat Indonesia sebagai importir gandum terbesar di dunia.
Menurut Dwi, perubahan konsumsi masyarakat ke gandum ini disebabkan karena gagalnya diversifikasi pangan oleh Kementerian Pertanian. "Beras akan tergantikan oleh gandum perlahan-lahan. Sangat terlihat betul diversifikasi pangan kita gagal total. Anggaran Kementerian Pertanian Tahun 2019 pun nol rupiah untuk diversifikasi pangan," kata Dwi.
Indonesia dapat belajar dari Jepang untuk mengenalkan makanan tradisional sejak kecil kepada anak-anak sehingga mereka bisa mengenal bahan makanan yang tumbuh dan diproduksi dari negeri sendiri.