REPUBLIKA.CO.ID, BOSTON -- Seorang pelajar Palestina, Ismail Ajjawi yang sempat ditolak masuk ke Amerika Serikat (AS) bulan lalu, kini telah mulai belajar di Universitas Harvard.
Keluarga Ajjawi mengatakan dalam sebuah pernyataan, mereka merasa lega pada kondisi saat ini. "Sepuluh hari terakhir telah sulit dan diliputi kecemasan, tetapi kami sangat berterima kasih atas ribuan pesan dukungan", kata mereka, dilansir BBC, Rabu (4/9)
Ajjawi mengatakan, dia dilarang masuk setelah agen perbatasan memberikan pertanyaan padanya selama berjam-jam di Bandara Boston atas unggahan media sosial, yang ditulis teman-temannya. Pelajar berusia 17 tahun itu masuk pada Senin (2/9) tepat pada waktunya untuk memulai menimba ilmu di Harvard.
Departemen Luar Negeri AS mengumumkan pada Juni sebagian besar pemohon visa dimintai rincian media sosial. Customs and Border Protection (CBP) menyatakan pada Selasa, Ajjawi telah mengatasi semua alasan keadaan yang tidak dapat diterimanya dan dibolehkan masuk ke AS sebagai pelajar dengan visa F1. Agensi tidak menjelaskan lebih lanjut mengapa ia ditolak dan kemudian diterima.
Pictured in the middle is Ismail Ajjawi, the Palestinian @Harvard freshman who was denied entry to the US. He has safely arrived on campus today! pic.twitter.com/wf4xPjfBaL
— Hamzah Raza (@raza_hamzah) September 2, 2019
CBP menolak mengomentari secara spesifik kasus ini bulan lalu saat masalah Ajjawi pertama kali dilaporkan. Mereka hanya mengatakan ia telah ditolak masuk berdasarkan informasi yang ditemukan selama inspeksi CBP.
Keluarga berharap Ajjawi sekarang bisa lebih fokus di perguruan tinggi dan kuliahnya. Seorang mahasiswa di Harvard, Hamzah Raza membagikan gambar Ajjawi tengah berada di universitas.
Ajjawi mengatakan, visanya dibatalkan setelah petugas imigrasi menggeledah telepon dan laptopnya di bandara Boston pada Jumat, 23 Agustus. Ia mengungkapkan, dirinya ditolak masuk meskipun memprotes dia tidak ada hubungannya dengan sebuah unggahan media sosial.
Pada Juni, Departemen Luar Negeri AS mengatakan telah mulai meminta agar sebagian besar pemohon visa menyerahkan nama dari media sosialnya dan alamat email serta nomor telepon selama lima tahun terakhir. Pemerintahan Presiden AS, Donald Trump pertama kali mengusulkan peraturan tersebut pada Maret 2018. Para pejabat saat itu memperkirakan peraturan baru itu akan memengaruhi 14,7 juta orang setiap tahun. Sementara pemohon visa diplomatik dan resmi tertentu dibebaskan dari peraturan baru yang ketat.