REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Pemerintah Palestina mengecam rencana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengunjungi kota tua Hebron di Tepi Barat. Netanyahu dianggap memiliki agenda terselubung saat mengunjungi kota tersebut.
"(Kunjungan Netanyahu ke Hebron) rasial dan kolonial," kata Kementerian Luar Negeri Palestina pada Selasa (3/9), dikutip laman Anadolu Agency. Menurut Palestina, kunjungan itu dilakukan saat Netanyahu berupaya mendapatkan lebih banyak suara sayap kanan.
Selain itu, Palestina melihat bahwa Netanyahu memiliki rencana untuk meyahudikan Hebron, termasuk Masjid Ibrahimi. Oleh orang-orang Yahudi, Masjid Ibrahimi disebut sebagai "Gua Para Leluhur". Sebab mereka meyakini di sana terdapat makam Nabi Ibrahim, Ishak, dan Yakub.
Sementara itu, para aktivis Palestina telah menyerukan agar kunjungan Netanyahu ke Hebron disambut dengan bendera hitam yang dikibarkan di rumah-rumah warga. Netanyahu dijadwalkan mengunjungi Hebron pada Rabu (4/9). Itu menjadi kunjungan perdananya dalam 13 tahun.
Menurut surat kabar Maarive, Netanyahu akan mengambil bagian dalam upacara peringatan 90 tahun kerusuhan yang terjadi di Hebron. Sebanyak 60 Yahudi tewas dalam kejadian tersebut. Upacara digelar di tangga Masjid Ibrahimi.
Pada Januari lalu, Pemerintah Israel menolak memperpanjang mandat Temporary International Presence in Hebron (TIPH) yang telah beroperasi selama lebih dari 20 tahun. Menurut Netanyahu kelompok tersebut melakukan perlawanan terhadap Israel.
TIPH dibentuk berdasarkan adopsi resolusi Dewan Keamanan PBB 904 tahun 1997. Resolusi itu mengecam pembantaian tahun 1994. Kala itu, ekstremis Israel Baruch Goldstein membantai jamaah yang tengah menunaikan salat Subuh di Masjid Ibrahimi. Selain menewaskan 50 warga Palestina, serangan itu juga menyebabkan ratusan orang luka-luka.
Dengan resolusi tersebut TIPH diterjunkan ke Hebron guna mengawasi dan mencatat pelanggaran yang dilakukan Israel di sana. Resolusi itu juga menyerukan Israel menyita senjata para pemukimnya guna mencegah mereka melakukan serangan lebih lanjut terhadap warga Palestina.