REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diminta untuk meningkatkan pelayanan dan fasilitas jika menaikkan iuran. Apalagi, defisit keuangan yang dialami BPJS Kesehatan dinilai tak tepat dijadikan alasan untuk menaikkan iuran.
Rencana pemerintah menaikkan iuran pun terus menuai penolakan. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Putih Sari mengatakan, pemerintah sebaiknya segera merealisasikan suntikan dana pada BPJS guna menambal defisit. Sebelum iuran dinaikkan, kata dia, BPJS Kesehatan juga perlu meningkatkan kinerjanya.
"Salah satu penyebab defisit karena kinerja BPJS Kesehatan belum optimal. Jangan sampai pemerintah mencederai hati rakyat," kata Sari di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Selasa (3/9).
Kalaupun akhirnya iuran jadi dinaikkan, Sari mewanti-wanti agar pelayanan dan fasilitas terhadap peserta ditingkatkan. Menurut dia, sampai saat ini masih ada peserta yang mendapatkan pelayanan kurang baik. Tak sedikit masyarakat yang mengeluh karena ditolak pihak rumah sakit, pelayanan yang lambat, dan dipersulit dalam memperoleh manfaat.
Karena itu, kata dia, peningkatan pelayanan BPJS Kesehatan perlu dilakukan segera agar peserta tidak merasa dirugikan dengan kenaikan iuran yang cukup tinggi.
"Jangan sampai peningkatan premi yang terlalu tinggi, justru akan menyebabkan jumlah peserta turun," ujar Sari.
Pemerintah telah memutuskan menaikkan tarif iuran bulanan peserta mandiri kelas I dan II JKN-KIS mulai 1 Januari 2020. Iuran kelas I akan naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per jiwa per bulan. Sementara, iuran kelas II naik dari Rp 59 ribu menjadi Rp 120 ribu.
Iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang iurannya dibayar pemerintah juga naik dari Rp 23 ribu menjadi Rp 42 ribu per jiwa per bulan. Iuran yang tidak naik hanya peserta mandiri yang merupakan pekerja bukan penerima upah (PBPU) serta bukan pekerja (BP) kelas III.
Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyayangkan sikap pemerintah yang menaikkan iuran. Menurut dia, hal tersebut bukan solusi tepat mengatasi defisit.
Mardani menjelaskan, ada beberapa alasan utama yang membuat defisit BPJS Kesehatan selalu meningkat setiap tahunnya, salah satunya karena lebih banyaknya penggunaan layanan ketimbang jumlah peserta. Menurut catatan dia, total peserta saat ini sekitar 223,3 juta orang, tetapi penggunaannya mencapai 233,9 juta.
Kemudian, banyak perusahaan yang diketahui mengakali iuran BPJS Kesehatan karyawan yang menjadi peserta. Hal itu dilakukan agar beban yang dibayarkan perusahaan berkurang.
Selain itu, tingkat kepersertaan aktif dari pekerja bukan penerima upah masih rendah. Berdasarkan data dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), peserta aktif hanya sebesar 53,7 persen.
Data kepersertaan BPJS Kesehatan juga dinilai belum akurat. Sebab, masih ada peserta yang seharusnya tak masuk sistem program, justru masuk ke dalam sistem.
"Selain itu, ditemukan peserta tidak memiliki NIK, bahkan nama ganda," ujar Mardani.
Terakhir, ia menilai sistem manajemen klaim BPJS Kesehatan belum mumpuni. Hal itu terlihat dari masih ditemukannya klaim ganda peserta yang membuat defisit bertambah.
"Bahkan, ada klaim dari peserta yang sudah tidak aktif dan yang sudah meninggal,” kata dia.
Atas sejumlah asalan itulah, ia tak sepakat dengan rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan. "Menaikkan iuran ini tidak adil karena akar masalah sesungguhnya adalah pengelolaan BPJS Kesehatan, bukan pada kecilnya iuran," ujar Mardani.