REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD – Menteri Luar Negeri (Menlu) Arab Saudi Adel al-Jubeir dan Menlu Uni Emirat Arab (UEA) Sheikh Abdullah bin Zyaed Al Nahyan mengunjungi Pakistan, Rabu (4/9). Kedatangan mereka ke sana adalah untuk membahas isu Kashmir.
“Menlu UEA dan Arab Saudi tiba hari ini di Pakistan untuk membahas situasi yang genting ini sementara Parlemen Uni Eropa telah menyerukan diakhirinya jam malam di IOJK (Indian Occupied Kashmir) seperti halnya Komisi Hak Asasi Manusia Permanen Independen Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), tanpa syarat yang tak pasti,” kata Menlu Pakistan Shah Mahmood Qureshi melalui akun Twitter pribadinya.
Kunjungan tersebut hanya akan berlangsung selama satu hari. Selain bertemu dengan Qureshi, al-Jubeir, dan Sheikh Abdullah akan menemui Perdana Menteri Pakistan Imran Khan dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Qamar Javed Bajwa.
Pada Senin lalu, Imran Khan berjanji bahwa negaranya tidak akan memulai perang dengan India. Sebab, terdapat risiko perang nuklir jika hal itu dilakukan.
“Kami adalah dua negara yang memiliki senjata nuklir. Jika ketegangan meningkat, maka ada bahaya bagi dunia dari hal ini. Dari pihak kami, kami tidak akan pernah bertindak lebih dulu,” kata Khan seperti dikutip Aljazirah.
Sebelumnya, Khan mengatakan semua upaya dan tawarannya untuk berdialog dengan India guna menciptakan perdamaian sia-sia. Karena itu, dia menilai tidak ada gunanya melakukan pembicaraan dengan para pejabat India.
“Tidak ada gunanya berbicara dengan mereka. Maksud saya, saya telah melakukan semua pembicaraan. Sayangnya sekarang ketika saya melihat ke belakang, semua tawaran yang saya buat untuk perdamaian dan dialog, saya pikir mereka mengambilnya untuk menenangkan,” kata Khan dalam sebuah wawancara dengan New York Times yang diterbitkan pada 21 Agustus lalu.
Pernyataan Khan berkaitan dengan ketegangan antara Pakistan dan India pasca-dicabutnya status khusus Jammu-Kashmir. Khan mengaku tak tahu lagi harus melakukan cara apa untuk membuat India berkenan melakukan dialog. “Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan,” ucapnya.
Kashmir telah dibekap ketegangan sejak India mencabut status khusus wilayah tersebut pada 5 Agustus lalu. Masyarakat memprotes, kemudian menggelar aksi demonstrasi di beberapa daerah di sana. Mereka menolak status khusus dicabut karena khawatir dapat mengubah komposisi demografis Kashmir.
Pakistan yang selama ini terlibat persengketaan dengan India atas Kashmir pun mengecam pencabutan status istimewa wilayah tersebut. Islamabad mengatakan akan membawa masalah pencabutan status khusus Jammu dan Kashmir oleh India ke Mahkamah Internasional.
Kashmir merupakan satu-satunya wilayah di India yang berpenduduk mayoritas Muslim. Sejak merdeka dari Inggris pada 1947, Kashmir terpecah dua, dua per tiga di antaranya dikuasai India, sementara sisanya milik Pakistan. Wilayah itu kemudian dipisahkan dengan garis Line of Control (LoC). Perselisihan akibat sengketa Kashmir telah membuat India dan Pakistan tiga kali berperang, yakni pada 1948, 1965, dan 1971.