REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Song Min-su, mahasiswa Korea Selatan (Korsel) jurusan sastra Jepang dari Hannam University bisa menjadi korban ketegangan antara negaranya dan tetangga mereka. Perselisihan yang diawali isu kerja paksa di masa kolonial berbuntut ke banyak sektor salah satunya ketenagakerjaan.
Song sudah lama bercita-cita bekerja di Jepang. Negeri Sakura kerap kekurangan tenaga kerja. Karena itu, Song percaya diri dapat mencari kerja di sana untuk menghindari semakin tingginya angka pengangguran di Korsel.
Namun, sejak Jepang membatasi ekspor bahan baku teknologi ke Korsel hubungan diplomatik kedua negara semakin memburuk. Cita-cita Song semakin sulit dicapai. Selain mempersulit ekspor mobil, bir, dan barang-barang Jepang lainnya warga Korsel juga semakin sulit berkunjung ke Jepang.
"Tidak hanya semakin sulit mencari kerja di Jepang, tapi sentimen saat ini juga membuat orang Korea lulusan sastra Jepang juga semakin sulit mencari kerja," kata Song yang berusia 25 tahun, Rabu (4/9).
Hubungan Seoul dengan mantan penjajahnya memang pahit. Perselisihan dalam urusan kerja paksa selama masa kolonial menjadi faktor yang membuat ketegangan antara kedua negara mencuat lagi.
Korsel merespons pembatasan ekspor Jepang itu dengan menurunkan status mitra dagang Negeri Sakura. Seoul juga membubarkan kerja sama informasi intelijen.
Perselisihan tersebut membuat perusahaan Jepang menurunkan angka rekrutmen warga Korsel berpendidikan tinggi. Hal itu memaksa pencari kerja, konsultan pekerjaan dan pemerintah Korsel berpikir ulang menjadikan Jepang sebagai tujuan mencari kerja, menambah tekanan kepada Presiden Moon Jae-in yang dalam kampanyenya 2017 lalu berjanji menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesetaraan. Pada bulan Juli lalu, Badan Stasistik Korsel mencatat hampir 10 persen warga di usia 15 sampai 29 tahun tidak memiliki perkerjaan.
Tapi badan stasistik Korsel mengatakan angka sebenarnya mencapai 24 persen. Jika memasukan mereka yang berkerja paruh waktu, menyerah mencari pekerjaan atau mempersiapkan ujian negara.
Pertumbuhan lapangan kerja di Korsel melambat. Hal itu karena kolongmerat yang mengusai perekonomian di Negeri Gingseng juga tidak banyak membuka lowongan dipertajam dengan tingginya upah minimum dan mendinginnya perekonomian terutama dalam industri manufaktur dan konstruksi.
Data Layanan Pengembangan Sumber Daya Manusia Korsel menunjukkan Jepang yang angka penganggurannya terendah setelah 26 tahun menjadi tempat favorit bagi warga Korsel untuk mencari pekerjaan pada tahun 2014 dan 2016-2018.
Tahun lalu Jepang menjadi tempat lebih dari sepertiga lulusan Korsel yang berjumlah 5.783 mencari pekerjaan di luar negeri dengan program pemerintah, naik tiga kali lipat dibandingkan pada tahun 2013. Namun, pada bulan lalu Kementerian Ketenagakerjaan Korsel membatalkan bursa tenaga kerja di Jepang dan Asia Tenggara yang harusnya digelar pada bulan September ini. Mereka menyalahkan ketegangan yang terjadi antar-kedua negara.