Rabu 04 Sep 2019 18:47 WIB

Pakar Hukum Tata Negara Usul Presidential Threshold Dihapus

Ambang batas presiden dianggap sebagai pintu masuk politik transaksional.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Ratna Puspita
Pemilu (ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Pemilu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pakar hukum tata negara mengusulkan adanya penghapusan sistem ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dihapus. Ambang batas ini dianggap sebagai pintu masuk politik transaksional yang menggangu sistem presidensial.  

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUsAKO) Universitas Andalas Feri Amsari UUD 1945 pasal 6A tidak mengenal sistem ambang batas pencalonan presiden. "Jadi, kalau dipakai ya mestinya norma tertinggi inilah (UUD 1945) yang harus dipatuhi. Ambang batas pencalonan presiden sebaiknya nol saja," ujar Feri Amsari ketika dijumpai wartawan di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (4/9). 

Baca Juga

Pakar hukum tata negara, Bvitri Susanti, menjelaskan persoalan ambang batas ini kepada sistem pemilu di Indonesia yang mempengaruhi teknis pelaksanaan sistem presidensial. Dia menilai adanya ambang batas pencalonan ini mendorong parpol melakukan koalisi untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.

Tanpa memenuhi ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen, parpol tidak bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden sendiri. Sementara, kata Bvitri, agar bisa memenuhi ambang batas pencalonan presiden, parpol-parpol harus berkoalisi.

Akibatnya, jika seorang calon presiden pada akhirnya terpilih, akan ada balas budi atau transaksi politik untuk parpol. "Hal ini berpengaruh kepada posisi tawar presiden yang terpilih. Sehingga, kami usul bahwa harus ada keterkaitan aturan yang jelas antara sistem pemilu, sistem parpol dengan sistem ketatanegaraan yang mendukung penguatan presidensial," ungkap Bvitri.  

Bvitri mengungkapkan agar sistem presidensial tidak dilakukan secara transaksional. Idealnya, presiden bekerja sesuai fokusnya yakni kepentingan masyarakat. 

Dalam menyusun kabinet usai memenangkan pemilu, presiden harus memaknai keterkaitannya dengan parpol secara cermat. Ketika presiden maju, ada syarat threshold yang membuat presiden juga punya keterikatan dengan parpol tertentu.

"Itu tidak bisa dipinggirkan juga. Tapi untuk memagari bahwa tidak terlalu besar transaksi politiknya maka presiden harusnya bikin kriteria yang jelas," tuturnya. 

Bvitri pun meminta agar ke depannya jarak antara penetapan hasil pemilu nasional dan pelantikan kepada presiden dan wakil presiden pemenang pemilu tidak terlalu lama.  Jeda waktu yang lama antara keduanya memberikan celah kepada parpol koalisi untuk melakukan transaksi politik.  

Syarat ambang batas pencalonan presiden adalah sebesar 20 persen diatur dalam pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Syarat ini sudah beberapa kali diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap membatasi pilihan masyarakat soal pasangan calon presiden-calon wakil presiden dalam pemilu.  

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement