REPUBLIKA.CO.ID, GENEWA -- Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) mengeluarkan pernyataan resmi mengenai situasi di Papua dan Papua Barat, belakangan. Mereka menyoroti tindakan aparat militer dan kepolisian serta keterlibatan milisia di Papua dan Papua Barat menyusul aksi-aksi menolak rasialisme yang beberapa di antaranya berujung kericuhan sejak Senin (19/8).
“Saya merisaukan peningkatan kekerasan dua pekan belakangan di Provinsi Papua dan Papua Barat, terutama sehubungan meninggalnya beberapa pengunjukrasa dan aparat keamanan,” kata Ketua OHCHR Michelle Bachelet dalam pernyataan yang dilansir Reliefweb, Rabu (4/9).
Reliefweb merupakan situs resmi Kantor PBB untuk Kordinasi Urusan Kemanusiaan yang secara berkala melansir kabar tentang perkembangan krisis kemanusiaan di berbagai belahan dunia.
Ia mengatakan, Komisi Tinggi HAM PBB telah memantau kondisi di Papua sejak akhir 2018, atau setelah pembunuhan terhadap sejumlah pekerja Transpapua di Nduga yang juga mengakibatkan gelombang pengungsian di pegunungan Papua tersebut. “Seharusnya tak ada tempat untuk kekerasan di Indonesia yang demokratsi dan beragam,” kata dia.
Bachelet mengimbau pemerintah pusat menggelar dialog dengan warga Papua dan Papua Barat untuk menampung aspirasi mereka. Ia juga meminta pemerintah mencabut pemblokiran internet di Papua belakangan. “Pemblokiran internet secara pukul rata seperti itu berpotensi menghambat kebebasan berekspresi dan membatasi komunikasi serta meningkatkan tensi,” kata Bachelet.
Ia mengatakan, mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo mengancam rasialisme yang dialami warga Papua dan Papua Barat. Ia juga menghargai ditangkapnya sejumlah pihak terkait kasus rasialisme di Malang dan Surabaya yang memicu gelombang unjuk rasa belakangan.
“Tapi saya juga khawatir sehubungan laporan tentang kehadiran milisia nasionalis yang juga aktif melakukan kekerasan. Pegiat HAM lokal, mahasiswa, juga wartawan yang mengalami intimidasi serta ancaman juga harus dilindungi,” kata dia.