Rabu 04 Sep 2019 22:57 WIB

Akbar: Masyarakat Perlu Khawatir GBHN Dihidupkan Kembali

Karena untuk saat ini, tidak urgensi untuk menghidupkan kembali GBHN.

Rep: Ali Mansur/ Red: Andi Nur Aminah
Politisi Senior Partai Golkar Akbar Tanjung memberikan pemaparan sebelum menerima petisi dari kader muda partai golkar dan sejumlah aktivis saat menggelar silaturahmi di kediamannya, Jakarta, Kamis (11/5).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Politisi Senior Partai Golkar Akbar Tanjung memberikan pemaparan sebelum menerima petisi dari kader muda partai golkar dan sejumlah aktivis saat menggelar silaturahmi di kediamannya, Jakarta, Kamis (11/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga saat ini wacana menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) masih menjadi polemik. Selain ada yang mendukung, juga tidak sedikit yang tidak setuju produk orde baru itu dihadirkan kembali ke dalam kancah perpolitikan masa kini.

Meski GBHN dihidupkan kembali dengan amandemen terbatas kembali tapi dikhawatirkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI kembali menjadi lembaga tertinggi. Politisi senior Partai Golkar Akbar Tanjung mengakui konstitusi membuka peluang untuk dilakukan proses amandemen kembali dan telah diatur dalam Undang-undang Dasar. Namun masyarakat juga perlu khawatir jika amandemen nanti menetapkan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Sehingga pemilihan presiden pun kembali seperti saat orde baru.

Baca Juga

"Jadi kekhawatiran masyarakat bahwa pemilihan Presiden akan diwacanakan untuk kembali dipilih oleh MPR RI seperti pada masa orde baru," ujar Akbar Tanjung dalam diskusi bertema "Mengupas Polemik Wacana Kemunculan Kembali GBHN" di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu,(4/9)

Padahal, lanjut Akbar, amanat reformasi salah satunya adalah melakukan perubahan struktur ketatanegaraan Indonesia, seperti menghapus kedudukan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Maka jika kembalinya GBHN membalikkan kedudukan MPR RI, artinya demokrasi Indonesia berjalan mundur. Disamping itu, saat ini tidak urgensi untuk menghidupkan kembali GBHN.

Selanjutnya, Akbar Tanjung menjelaskan, kalaupun tujuannya adalah untuk perencanaan pembangunan, sudah ada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Pada dasarnya  perencanaan pembangunan dapat dilakukan melalui sinkronisasi antara daerah dan nasional.

"Ada UU perencanaan pembangunan nasional, visi dan misi presiden bisa dimasukkan di sana, duduk bersama dengan DPR, menjadi UU, sehingga perencanaan pembangunan sesuai dengan UU tersebut," jelasnya.

Kemudian jika alasan tidak adanya sinkronisasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, presiden bisa mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan koordinasi dengan Pemda secara intens. Koordinasi yang dilakukan oleh Kemendagri juga bertujuan mempertegas jalannya konsep RPMJN yang telah berlaku dan diatur dengan undang-undang.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement