REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Selepas wafatnya, Al-Mansur, Khalifah penggantinya juga terus melakukan pembangunan. Baghdad pun kian elok dipandang. Sarana ibadah, pendidikan, penelitian, kesehatan, perdagangan dan bisnis pun bermunculan. Maka tak heran, jika pada 800 M, Baghdad telah menjelma menjadi pusat peradaban, pendidikan, ilmu pengetahuan, perdagangan, ekonomi dan politik.
Baghdad mencapai puncak kejayaannya pada era pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M) dan Khalifah Al-Ma'mun (813-833 M). Baghdad begitu termashur, karena kejayaan perdagangan dan kebudayaan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat. Baghdad pun begitu semarak dengan aktivitas keilmuan, bisnis dan pusat kekuasaan.
Kota Baghdad yang indah dan megah telah melahirkan sejumlah ilmuwan besar di abad ke-9 hingga ke-13 M. Transfer pengetahuan dari Yunani juga telah membuat Baghdad menjadi pusat pengembangan ilmu kedokteran, matematika, astronomi, kimia, literatur dan berbagai peradaban lainnya.
Sebagai sebuah metropolis intelektual, Baghdad juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas publik, seperti museum, rumah sakit, perpustakaan, pusat bisnis serta masjid. Kondisi Baghdad, pada era keemasan begitu kontras dengan keadaan Eropa yang tercengkram dalam masa kegelapan. Baghdad telah menjadi jantung yang menggerakan peradaban di seantero jagad.
Setelah 500 tahun berkuasa, kejayaan Dinasti Abbasiyah perlahan mulai meluntur. Pertentangan dan friksi yang terjadi di kalangan umat Islam mulai melemah. Cerita kebesaran dan keagungannya berakhir tragis setelah Baghdad luluh-lantak dihancurkan bangsa Mongol pimpinan Hulagu Khan pada 1258 M.
Ribuan sarjana dan 100 ribu warga Baghdad dibantai. Perpustakaan, saluran irigasi, serta gedung-gedung benilai sejarah dibumi hanguskan. Peritiwa kelam yang terjadi tujuh abad lalu itu kembali menimpa Baghdad. Pada tahun 2003 ketika Irak diserang AS.