REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- ''Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekafiran, kekurangan, dan kehinaan dan aku berlindung kepada-Mu dari (kondisi) didzalimi dan mendzalimi orang lain.'' (HR Ibnu Majjah dan Hakim dari Abu Hurairah).
Kata 'fakir' dalam bahasa Indonesia sering kali digandengkan dengan kata lain yang dianggap hampir semakna yakni 'miskin', sehingga menjadi 'fakir miskin'. Dalam bahasa Arab, kata faaqir berasal dari kata faqr yang, antara lain, berarti 'tulang punggung' dan yang pertama (faaqir) berarti 'orang yang patah tulang punggungnya' karena demikian berat beban yang dipikulnya. Sedangkan kata 'miskin' berasal dari kata sakana yang dalam bahasa Arab berarti 'diam' atau 'tenang'.
Dalam Alquran, tidak ditemukan definisi yang gamblang tentang fakir maupun miskin kendati kedua kata tersebut itu dengan berbagai akar katanya, lebih dari 14 kali untuk kata faqr dan lebih dari 33 kali untuk kata miskin. Yang jelas dalam sebuah riwayat ditemukan doa Rasulullah yang memohon perlindungan kepada Allah dari kefakiran sebagaimana tertuang pada riwayat di atas serta memohon 'kehidupan dan kematian' dalam kondisi miskin, sebagaimana sabdanya, ''Ya Allah, hidupkanlah aku dalam kondisi miskin, dan wafatkanlah aku (juga) dalam kondisi miskin.''
Ada sesuatu yang menarik dari doa Rasulullah di atas. Setidaknya kondisi atau sifat 'fakir' merupakan kondisi yang sangat buruk, yang disejajarkan dengan kekufuran, kekurangan, dan kehinaan sehingga Rasul memberi contoh umatnya untuk memohon perlindungan kepada Allah dari beberapa kondisi tersebut. Dengan demikian, pantas bila Ali bin Abi Thalib RA dalam salah satu atsar-nya menyebutkan, ''Hampir-hampir kondisi kefakiran itu membawa seseorang pada kekufuran.''
Kini, di tengah-tengah kondisi ekonomi semakin sulit karena menghilangnya berbagai komoditas kebutuhan masyarakat yang berakibat meroketnya segala macam harga kebutuhan pokok, sudah saatnya selalu mencontoh Rasulullah.
Kendati segala sesuatu menjadi sulit, namun jangan sampai lepas dan berputus asa dari jalan-Nya. Tidak selayaknya kita menjadi orang yang seakan tidak memperoleh nikmat Allah sedikit pun, sehingga membawa kita gelap mata dan berbuat yang nista atau bahkan berbuat sesuatu yang dzalim meski pada diri sendiri. Na'udzubillah.