REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Ketika era digital sudah menjadi keniscayaan maka tak ada lagi alasan untuk mengabaikannya. Semangat perubahan itulah yang hendak dielaborasi oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur Prambanan Ratu Boko (Persero) untuk mengembangkan potensi wisata candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko.
Direktur Utama TWC, Edy Setijono, mengatakan untuk pengembangan potensi wisata pihaknya menyiapkan konsep pengembangan bertajuk Smart Destination. Konsep ini lahir, kata dia, sebagai ikhtiar untuk merespons program Spirit Joglosemar yang dirilis pada 2016 pada rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo di Borobudur. Joglosemar merupakan akronomin dari wilayah Jogjakarta, Solo, dan Semarang.
“Di dalam konsep smart destination ini mencoba mengimplementasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam membantu destinasi wisata mencapai target pertumbuhannya,” katanya dalam diskusi di Yogyakarta, Rabu (4/9).
Pria yang akrab disapa Tyo ini menjelaskan sejauh ini Borobudur menjadi satu dari 10 destinasi prioritas atau menjadi salah satu destinasi yang dikenal dengan istilah ’10 Bali Baru’. Dengan statusnya sebagai peninggalan sejarah dunia, setiap tahunnya terdapat 4 juta pengunjung sekaligus menjadi lokomotif dalam destinasi wisata di wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya.
Namun untuk mendongkrak jumlah kunjungan wisatawan, Tyo sadar pihaknya tidak hanya bisa mengandalkan Borobudur. Lalu dalam pengembangan konsep smart destination dan network destination tersebut, ia membagi fokus pengembangannya ke dalam delapan klaster. Klaster tersebut adalah Semarang, Dieng, Ambarawa, Borobudur, Jogjakarta, Prambanan, Solo-Sangiran, dan Cetho-Sukuh.
“Kita sadar dari awal bahwa Borubudur itu tidak mungkin menjadi Bali Baru, dan ngak bisa hanya stay alone. Itulah sebabnya kami mencoba memaksimalkan potensi wisata yang ada di wilayah Joglosemar ini dengan konsep Smart Destination,” jelas alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Terkait dengan usahanya mewujudkan smart destination tersebut, Tyo mengatakan, pihak TWC mengambil inisiasi untuk mengembangkan aplikasi digital dalam platform bernama Travelink. Dalam paparan uji coba platform tersebut, ditampilkan bagaimana pengembangan destinasi wisata di wilayah Joglosemar itu dapat dikelola secara langsung dengan menyesuaikan kebutuhan pengguna.
“Nantinya bisa disesuaikan dengan jumlah hari, anggaran yang tersedia dan lokasi yang ingin dikunjungi. Jadi para user bisa memilihnya sendiri,” katanya.
Tyo berharap dengan sudah terintegrasinya pengelolaan destinasi di wilayah Joglosemar nantinya bisa memberikan kontribusi kepada target pemerintah yang ingin mendatangkan 20 juta wisatawan mancanegara ke Indonesia hingga akhir tahun ini.
Tak hanya itu saja, ia juga berharap dengan terintegrasinya pengelolaan destinasi wisata dengan konsep smart destination di kawasan Joglosemar ini akan menambah length of stay atau durasi menginap.
“Harapan kita nantinya para wisatawan itu turun (dari pesawat) pertamanya di Yogyakarta, baru ke Bali via Solo, Semarang atau Jogjakarta. Inilah yang kita harapkan seiring dengan sudah dibukanya bandara internasional Yogyakarta di Kulonprogo.”
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, BM Purwanto, merespons positif adanya konsep smart destination yang telah dirancang TWC untuk mengembangkan destinasi wisata di kawasan Joglosemar. Namun hal penting untuk memikat wisatawan mancanegara itu datang diperlukan adanya daya pikat destinasi serta atraksi.
“Mereka itu datang jauh-jauh untuk membeli experience. Di sinilah diperlukan adanya semacam emotion evoke agar mereka merasakan real experience,” jelasnya.
Ia pun mencontohkan destinasi di Eropa yang sebenarnya mengandalkan bangunan tua ternyata mampu menarik wisatawan.
“Di sinilah diperlukan adanya narasi untuk menguatkan sekaligus mengenalkan sejarah kepada para wisatawan mancanegara. Itulah yang sebenarnya mereka cari ketika mengunjungi bangunan bersejarah semacam candi Borobudur ini,” katanya.