REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah merespons persetujuan DPR RI untuk merevisi kembali UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3). Menurut dia, kesepakatan tersebut merupakan sinyal rekonsiliasi dari Presiden Joko Widodo.
"Sehingga, memberikan kesempatan kepada semua pimpinan partai untuk duduk di MPR," ujar Fahri kepada Republika.co.id, Kamis (5/9). Menurut dia, hal itu tidak menjadi masalah sejauh presiden setuju terkait penambahan jumlah pimpinan MPR tersebut.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui revisi UU MD3 sebagai rancangan undang-undang usulan DPR. Persetujuan dilakukan dalam rapat paripurna masa sidang I tahun 2019-2020 di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (5/9).
"Pendapat fraksi terhadap RUU usul Badan Legislasi DPR RI tentang UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD dapat disetujui menjadi usul DPR RI?" tanya Wakil Ketua DPR Utut Adianto kepada peserta sidang sebelum dusetujui oleh anggota dewan yang hadir.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Hendrawan Supratikno menjelaskan usulan revisi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) agar tidak terjadi kegaduhan partai politik di parlemen. DPR RI menyetujui revisi UU MD3 menjadi rancangan undang-undang usulan DPR RI.
Revisi tersebut lantaran banyak partai politik yang tidak puas komposisi pimpinan MPR. "Prinsipnya untuk menciptakan suasa politik yang teduh, yang tidak gaduh, kondusif. Itu menjadi perhatian dan komitmen semua partai," ujar Hendrawan di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (5/9).
Hendrawan mengatakan hanya ada satu pasal saja yang direvisi terkait penambahan pimpinan MPR. Ia menjelaskan semua fraksi setuju dengan rencana revisi UU MD3 ini.
"MPR lembaga permusyawaratan, itu sebabnya kenapa tidak semua di akomodasi," ujar Hendrawan.
Selain menyepakati merevisi UU MD3, DPR juga mengusulkan agar UU KPK direvis