Jumat 06 Sep 2019 09:29 WIB

Afrika Selatan Alami Gelombang Xenofobia

Setidaknya 10 orang tewas dalam beberapa pekan, dua di antaranya warga asing.

Rep: Lintar Satria/ Red: Ani Nursalikah
Cyril Ramaphosa
Foto: AP Photo/Mike Hutchings
Cyril Ramaphosa

REPUBLIKA.CO.ID, CAPE TOWN -- Afrika Selatan berjanji mengatasi prasangka yang memicu gelombang kekerasan mematikan dan serangan xenofobia. Masyarakat internasional marah dengan kekerasan yang membayangi konferensi ekonomi pan-Afrika di Cape Town.

Presiden Cyril Ramaphosa mengatakan setidaknya 10 orang tewas dalam beberapa pekan, dua diantaranya warga asing. "Negara kami telah mengalami trauma mendalam, atas aksi kekerasan dan kriminalitas, tidak ada alasan untuk menyerang rumah-rumah dan bisnis warga asing atau xenofobia," kata Ramaphosa, Jumat (6/9).

Baca Juga

Ramaphosa berharap acara World Economic Forum yang berlangsung tiga hari dapat menjadi jendela bagi upayanya. Membangkitkan perekonomian Afrika Selatan yang sedang sakit dan mendorong perdagangan antar-Afrika.

Namun, kekerasan yang telah membuat ratusan orang ditangkap dapat menenggelamkan harapan itu. Pemerintah menyalahkan pelaku kejahatan kriminal atas kerusuhan-kerusuhan tersebut.

Warga asing yang menjadi korban tidak diungkapkan ke publik. Kekerasan ini memicu ketegangan antara Afrika Selatan dan Nigeria. Dua negara terbesar di benua Afrika.

photo
Warga menjarah sebuah toko di Germiston, di timur Johannesburg, Afrika Selatan, Selasa (3/9).

Ketua Dewan Zenith Bank Nigeria Jim Ovia dan seluruh anggota dewannya menarik diri dari event di Cape Town. "(Karena) isu yang hipersensitif seputar kehidupan dan keberadaan warga Nigeria di Afrika Selatan," kata mereka.

Wakil Presiden Nigeria sudah memboikot acara itu. Nigeria juga memanggil Komisioner Tinggi ke Afrika Selatan. Sebelumnya Ramaphosa batal tampil di rapat pleno acara WEF untuk berpidato.

Ia berpidato pada sore harinya tapi diapit presiden negara-negara Afrika lain dan ia tidak membahas serangan terhadap imigran. Ia justru menyoroti akar dari korupsi dan memperkuat institusi.

Sebelumnya, di sela-sela konferensi Menteri Luar Negeri Naledi Pandor mengakui beberapa kerusuhan dilatar belakangi 'Afrofobia', kebencian terhadap sesama orang Afrika yang tinggal dan bekerja di sana. Pemerintah Afrika Selatan sudah bekerja memulihkan ketenangan dan terus berkomunikasi dengan pemerintah Nigeria. Mereka juga akan mengubah kurikulum sekolah untuk mengatasi 'perilaku bermasalah' itu.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement