Kepolisian menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka provokator dan penyebar berita palsu terkait insiden rasisme di asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Apakah hal ini mampu meredam situasi yang tengah bergejolak di tanah Papua? Apakah solusi terbaik dalam menyelesaikan permasalahan tersebut? Wawancara DW Indonesia dengan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengenai perkembangan di Papua.
Deutsche Welle: Apa pendapat Anda terkait penetapan Veronica Koman sebagai tersangka provokator dan penyebaran berita palsu terkait insiden Papua?
Usman Hamid:
Cenderung merupakan upaya untuk meredam saja. Ekspresi yang disampaikan Veronica Koman di twitter, baik itu dalam menyebarkan informasi dan menyampaikan pendapatnya, sering kali jadi semacam rujukan bagi media asing. Mungkin karena itu pemerintah, khususnya kepolisian, mengambil tindakan dengan menetapkannya sebagai tersangka.
Karena mungkin dipandang mengganggu upaya polisi menutup akses wartawan asing. Dan Veronica dianggap menerabas batasan itu. Saya kira alasan yang saya dapat dari kepolisian adalah berkenaan dengan tweet-nya yang dianggap memviralkan peristiwa di Surabaya di depan asrama mahasiswa Papua.
Kalau justru benar, saya rasa Veronica dalam posisi membantu negara, membantu masyarakat dalam memberitakan atau menyampaikan sesuatu yang jelas–jelas bertentangan dengan undang-undang dasar kita yaitu pembinaan terhadap orang papua.
Ini kemunduran dalam kebebasan berpendapat?
Ini disebabkan masih kuatnya cara pandang yang kaku terhadap ideologi politik terhadap Papua, selalu ada slogan NKRI harga mati, dibanding usaha untuk membicarakan masalah esensial soal kematian, pembunuhan, kesejahteraan. Sebab yang lain adalah ketersediaan UU Informasi Transaksi Elektronik yang bisa memfasilitasi kriminalisasi terhadap kemerdekaan berpendapat.
Baca juga: Amankan Situasi di Papua, Polisi Kerahkan Ribuan Personil Tambahan
Selain Veronica Koman, pihak lain juga turut memviralkan insiden Papua, salah satunya Benny Wenda...
Itu merupakan hak orangdi negara-negara lain untuk berpendapat. Pada dasarnya, Amnesty International dalam posisi melindungi seseorang terkait menyatakan kebebasan berpendapat, asal dalam bentuk damai.
Pemerintah telah menetapkan tersangka provokator rasisme di Surabaya, kemudian memblokir akses internet di Papua, terakhir menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka. Tapi apa solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah di Papua?
Dialog. Usaha untuk medialogkan tampaknya berbenturan kekakuan yang tadi. Dalam situasi itu tentu saja tidak bisa bertemu kedua belah pihak. Yang satu NKRI harga mati, yang satu lagi menuntut referendum. Harusnya tidak begitu. Kita punya pengalaman yang baik di Aceh, bagaimana tuntutan kemerdekaan itu direspon pemerintah dengan pendekatan damai, pendekatan dialog melalui perundingan.
Kemudian apa yang diaanggap makar separatis bisa dilihat secara berbeda dengan munculnya partai lokal di Aceh, dengan pembolehan bendera-bendera yang dulu dipakai GAM. Bahkan UU Aceh diadopsi dari UU otonomi khusus di Papua, di mana UU tersebut memperbolehkan adanya partai politik lokal, diperbolehkan menunjukkan lambang-lambang Papua sebegai representasi kultural.
Apakah pola yang sama bisa diterapkan, yaitu dengan bantuan mediator dari pihak asing yang dipercaya kedua pihak?
Tentu saja bisa, jika pemerintah mau. Tapi dalam praktiknya, ada semacam pembedaan: di Aceh bisa tapi di Papua tidak bisa. Pembedaan ini yang membuat orang Papua merasa beum dilihat secara setara oleh Jakarta.
Mengapa demikian?
Tentu saja ini suatu ketidakadilan yang lama sekali berlangsung, juga marjinalisasi yang berlangsung cukup lama, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang tidak pernah mendapat tanggapan yang memadai. Ada juga semcam sejarah masa lalu, yang memandang orang Papua lebih merupakan penyangkalan daripada sebuah pengakuan.
Hal-hal semacam itu sebenarnya sudah diupayakan penyelesaiannya dengan otonomi khusus, di mana pemerintah membangun komisi HAM, komisi kebenaran, sampai pengadilan HAM di Papua. Namun lembaga tersebut tidak kunjung dibentuk, akhirnya pemerintah menafsirkan sendiri secara sepihak peristiwa kriminalisasi di Papua sebagai kriminalisasi biasa.
Peristiwa kriminal tidak ada proses investigasinya yang berakhir di pengadilan sipil atau pengadilan umum, misalnya kalau pelakunya adalah aparat kepolisian atau TNI. (rap/hp)
Baca juga: Ketika Tarian Papua Memesona Publik Jerman
Usman Hamid adalah Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia. Lahir pada tanggal 6 Mei 1976, Usman pernah menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti 1998-1999.
Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Rizki Akbar Putra, dan telah diedit sesuai konteks. Tonggie Siregar turut berkontribusi dalam artikel ini.