REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas memandang revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) tak taat aturan yang berlaku. Pusako menyayangkan disepakatinya revisi itu oleh DPR.
Direktur Pusako, Feri Amsari menyebut aturan yang dilanggar DPR ialah ketentuan pada pasal 45 ayat 1 UU no 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan. Dalam aturan itu, pembahasan RUU harus berdasarkan program Legislasi Nasional (Prolegnas). Sedangkan UU KPK tak termasuk Prolegnas 2019.
"Sehingga terjadi pelanggaran formil oleh DPR. Terdapat beberapa muatan dalam RUU KPK yang bertentangan dengan konsep independensi serat tugas pokok dan fungsi KPK," katanya dalam siaran pers, Kamis (5/9).
Ia merinci ketentuan pasal 7 ayat 2 RUU KPK mewajibkan KPK membuat laporan pertanggungjawaban satu kali dalam setahun pada Presiden, DPR dan BPK. Padahal KPK dibangun sebagai lembaga mandiri dan independen.
"Bila diberi kewajiban KPK untuk melaporkan pada lembaga eksekutif dan legislatif maka KPK rentan diintervensi sekaligus mencederai independensi KPK," ujarnya.
Kemudian, munculnya pasal 12b ayat 1 RUU KPK malah mewajibkan KPK meminta izin tertulis pada Dewan Pengawas. Padahal aturan ini tak ada dalam UU KPK. Menurutnya, aturan ini sebagai bentuk kebiri atas kewenangan penyadapan KPK.
"Dewan Pengawas tidak dibutuhkan karena menghambat kerja KPK. Unsur pengisi posisinya dan mekanisme kerjanya juga tidak jelas. Hal ini bakal melemahkan KPK dari dalam," ujarnya.
Pusako menyarankan Presiden Joko Widodo tegas mengambil sikap dalam upaya pelemahan KPK. Feri memandang Presiden punya mekanisme untuk mencegah hal ini.
"Presiden harus ambil sikap dengan mengirimkan Surat Presiden pada DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU KPK," ucapnya.
Sebelumnya, semua fraksi di DPR sepakat merevisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK dalam rapat paripurna pada Kamis, (5/9). Tapi rencana DPR melakukan revisi ini belum sampai ke tangan Presiden.