REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kominte Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mendorong pemerintah dan pihak terkait untuk fokus menyelesaikan persiaoan pelintasan sebidang di jalur kereta api yang ada di Indonesia. Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono mengatakan pada dasarnya pelintasan sebidang di jalur kereta api (KA) memang harus ditutup dengan membangun fly over atau underpass.
"Kita harapkan peningkatan penutupan pelintasan sebidang dilakukan, ini solusi paling tepat," kata Soerjanto dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (6/9).
Meskipun begitu, Soerjantio menyatakan hal tersebut tidak mudah. Terlebih dalam menyelesaikan persoalan tersebut dapat menimbulkan menyelesaikan satu masalah dengan dengan masalah baru.
Soerjanto mengatakan salah satunya yakni pembangunan fly over di Bumiayu, Brebes. "Mereka (warga di Bumiayu) demo untuk menutup fly over yang tadinya menghindarkan kecelakaan (di pelintasan sebidang kereta api) tapi menimbulkan kecelakaan di transportasi jalan," ungkap Soerjanto.
Sebab, kata dia, truk yang melintas di fly over tersebut melintas dengan kecepatan yang tinggi sehingga banyak menimbulkan kecelakaan. Sementara saat di pelintasan sebidang jalur kereta api berjalan lambat.
"Setelah satu tahun dibuka (fly over di Bumiayu) ada 39 kecelakaan, ini juga di dalam pembuatan fly over perlu kajian komperhensif sehingga tidak menimbulkan kejadian yang lain," tutur Soerjanto.
Untuk mengatasi pelintasan sebidang jalur kereta api, PT Kereta Api Indonesia (KAI) (Persero) sudah mengupayakan untuk menutupnya. Terutama pelintasan sebidang yang tidak resmi atau ilegal.
Direktur Utama KAI Edi Sukmoro mengatakan, KAI sudah melakukan sosialisasi dan menutup pelintasan tidak resmi. "Sebanyak 311 perlintasan tidak resmi telah KAI tutup dari tahun 2018 sampai Juni 2019," kata Edi di Jakarta, Jumat (6/9).
Edi mengakui dalam proses langkah yang dilakukan KAI untuk keselamatan tersebut juga kerap mendapatkan penolakan dari masyarakat. Untuk itu, Edi menilai, dalam menyelesaikan permasalahan tersebut membutuhkan peran banyak pihak.
"Dalam kondisi tersebut diperlukan langkah untuk mencari jalur alternatif bagi masyarakat yang harus disolusikan bersama oleh pemerintah pusat atau daerah," tutur Edi.