REPUBLIKA.CO.ID, Mental merupakan bekal paling utama yang harus seseorang siapkan saat bekerja jauh dari keluarga. Tanpa itu, pekerjaan akan terasa berat, lama dan membuat diri tidak nyaman.
Itu pula yang dirasakan Fifin (26 tahun), saat harus bekerja sebagai petugas penjaga Lapas Kembang Kuning, Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Berbekal mental baja, pahit manis pengalaman di pengasingan dialaminya. Mengusir ular di rumah dinas sudah jadi rutinitasnya.
Republika.co.id mendapat kesempatan mengunjungi salah satu lapas medium security di Pulau Nusakambangan, yakni Lapas Kembang Kuning. Lapas tersebut menahan para warga binaan yang divonis hukuman di atas 10 tahun, seumur hidup, dan hukuman mati.
Fifin menjadi salah satu penjaganya. Hanya ada dua petugas perempuan di situ, dirinya dan rekannya yang bertugas secara bergantian.
Fifin biasanya berjaga jika ada tamu perempuan yang datang ke lapas. Ia ditugasi menemani, jika tidak ada, ia lebih sering berjaga melalui kantornya.
Saat awal-awal ditugaskan di Nusakambangan, Fifin diberikan rumah dinas di dekat Lapas Kembang Kuning. Ia tinggal bersama teman-temannya, karena memang ada beberapa kamar dan tempat tidur di sana.
Sejak Fifin tinggal di rumah dinas itu, ia harus berhadapan dengan ular yang tiba-tiba saja suka muncul. “Pernah saya mau tidur, untung saya cek dulu ya, itu ada di bawah tempat tidur saya ular. Banyak banget ular. Saya sudah bunuh sekitar 14 ular selama tinggal di rumah dinas itu,” kata Fifin, belum lama ini.
Meski perempuan, mentalnya pun harus terlatih kuat karena menghadapi ular-ular itu. Mereka terus bermunculan ke dalam rumah. Fifin menduga ular-ular itu berasal dari lubang aliran kamar mandi.
Untungnya, dia hanya dua bulan tinggal di rumah dinas. Setelah itu hingga saat ini, ia tinggal di rumah susun (rusun) yang baru saja dibangun.
“Kalau di rusun alhamdulillah kamarnya bagus, dan sejauh ini belum pernah ketemu ular, tapi jangan sampai lah,” ungkap Fifin.
Pengalaman lain yang tak terlupakan olehnya adalah saat berpapasan dengan seekor macan loreng hitam. Pertemuan itu terjadi jelang Maghrib, saat Fifin hendak kembali ke rusun dinasnya.
Saat hampir tiba di rusun dinasnya, ia menghentikan laju sepeda motornya. Ia melihat seekor hewan yang tengah melintas. Hewan itu adalah macan hitam. Jarak mereka mungkin hanya sekitar 300 meter.
Fifin gemetar, bergeming. “Saya pernah lihat macan waktu itu, warnanya itu ada loreng hitamnya. Saya nggak tahu itu jenis apa,” kata dia.
Hatinya hendak memutar balik, tapi dia khawatir jika sang macan sadar dengan keberadaannya, mungkin saja macan itu akan berlari dan menerkamnya. Ia berpikir, kecepatan motornya tidak mungkin bisa mengalahkan lari macan yang lebih cepat. Tapi jika ia berdiam di sana dan jika sang macan juga sadar dengan keberadaannya, maka habislah dia.
Fifin memutuskan tetap diam dan tenang, kebetulan lampu motor tidak menyala karena langit masih agak terang. Beruntung sang macan hanya berjalan menyebrang, kembali masuk ke dalam hutan belantara Pulau Nusakambangan.
Keluarga mana yang tidak ngeri-ngeri sedap mendengar anggotanya ada yang dikirim bertugas di Pulau Nusakambangan. Pulau yang dikenal berisi terpidana kasus-kasus berat kelas kakap. Terpidana yang dipenjara di sana, dipastikan akan kesulitan untuk kabur karena kondisi pulau yang memang cukup sulit dijangkau.
Pulau ini berada di Selatan Pulau Jawa dan masih masuk wilayah administrasi Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Luasnya mencapai 121 kilometer persegi.
Penjara yang memang telah ada sejak era penjajahan Belanda itu, disebut masyarakat dunia adalah Alcatraz versi Indonesia. Jangankan orang biasa, para terpidana pun bergidik jika harus dipenjara di pulau tersebut.
Begitu pun dengan keluarga Fifin, awalnya mereka sangat kaget mendengar Fifin akan ditugaskan di sana. Apalagi, Fifin ini perempuan. Belum lagi ada isu-isu soal kengerian Pulau Nusakambangan yang pasti sudah santer terdengar oleh semua orang. Namun demikian, Fifin akhirnya diizinkan ke Nusakambangan oleh keluarganya dengan sangat terpaksa.
Bekerja di Nusakambangan ternyata tak semenyeramkan yang dikira orang. Menurut Fifin, kondisi lapas yang dijaganya itu sangat kondusif. Tidak ada cerita narapidana kabur.
“Saya pun dilarang masuk ke dalam lapas kalau tidak ada keperluan. Kalaupun terpaksa masuk, saya pun dikawal kok. Karena semua warga binaan di (delapan lapas) Pulau Nusakambangan itu laki-laki, tidak ada perempuannya,” ujar Fifin.
Fifin pun tampak sesekali bersenda gurau dengan para warga binaan tamping. Ia juga memanggil nama-nama mereka, tampak terlihat adanya keakraban. Warga binaan tamping adalah para terpidana yang berperilaku sangat baik, sehingga dipercaya untuk membantu-bantu dalam mengurus warga binaan.
Mereka ada yang memasak, menjaga pintu keluar masuk, menjaga koperasi, dan ada juga yang memanen sayuran atau mengambil bahan-bahan memasak tapi ini harus tetap dikawal. Dan warga binaan tamping ini orangnya tetap, jadi tidak diganti-ganti.
Salah satu warga binaan tamping adalah Dede yang divonis 14 tahun penjara karena kasus pembunuhan. Dede tampak memikul ribuan ikat kangkung di pundak kanannya. Kangkung itu baru saja ia panen. Sikapnya ketika berbicara dengan petugas sangat sopan.
“Dia kalau saya tanyain kasus lamanya itu selalu menolak cerita, dia bilang tidak mau ingat-ingat lagi. Pokoknya dia sudah menjadi dirinya yang sekarang. Seolah kejadian dulu tidak pernah ada dan tidak akan pernah ia ulangi lagi,” kata Fifin.