Senin 09 Sep 2019 08:00 WIB

Trump Batalkan Perundingan Damai dengan Taliban

Pemerintah Afghanistan meminta Taliban terima dan sepakati gencatan senjata.

Presiden AS Donald Trump dalam Pertemuan KTT G7 di Biarritz, Prancis.
Foto: Christian Hartmann, Pool via AP
Presiden AS Donald Trump dalam Pertemuan KTT G7 di Biarritz, Prancis.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Dnald Trump membatalkan perundingan damai dengan pemimpin Taliban Afghanistan. Keputusan tersebut dilakukan setelah Taliban mengklaim bertanggung jawab atas serangan yang terjadi di Kabul, beberapa pekan lalu.

Dalam serangan tersebut, seorang tentara AS meninggal dunia dan 11 orang lainnya terluka. Trump mengatakan, sebelumnya, dia berencana mengadakan pertemuan rahasia dengan para pemimpin utama Taliban pada Ahad (8/9) waktu setempat di Kompleks Kepresidenan AS di Camp David, Maryland, AS.

Dia juga berencana bertemu dengan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani. Tapi, Trump segera membatalkan perundingan tersebut ketika Taliban mengatakan, mereka berada di balik serangan itu.

"Jika mereka tidak dapat menyetujui gencatan senjata selama perundingan damai ini, bahkan membunuh 12 orang tidak bersalah. Maka, mereka mungkin tidak memiliki kekuatan untuk menegosiasikan perjanjian yang berarti," kata Trump melalui akun Twitter-nya.

Belum ada respons dari Taliban mengenai keputusan Trump tersebut. Tapi, tampaknya, hal itu cukup mengejutkan mereka.

Beberapa jam sebelum pernyataan Trump, seorang pemimpin senior Taliban mengetahui adanya perundingan para pejabat AS dengan Kepala Perunding Taliban Mullah Abdul Ghani Baradar di Doha. Dari hasil pertemuan tersebut, sempat berembus rumor bahwa perjanjian damai sudah dekat. Dalam pertemuan itu, hadir Utusan Khusus AS untuk Perdamaian di Afghanistan, Zalmay Khalilzad.

Para gerilyawan Taliban yang kini menguasai lebih banyak wilayah dibandingkan pada 2001 melancarkan serangkaian serangan baru di kota-kota utara, Kunduz, dan Pul-e Khumri pada pekan lalu. Mereka pun melakukan dua pengeboman bunuh diri di Ibu Kota Afghanistan, Kabul.

Salah satu bom bunuh diri yang terjadi pada Kamis (5/9) menewaskan Sersan Satuan Angkatan Darat AS Elis A Barreto Ortiz (34 tahun) dari Puerto Riko. Kematiannya membuat jumlah tentara AS yang tewas di Afghanistan tahun ini menjadi 16 orang.

Pemerintah Afghanistan meminta Taliban menerima dan menyepakati gencatan senjata. Pemerintah menilai, hal ini perlu dilakukan agar perdamaian dapat terwujud. "Kedamaian sejati akan datang ketika Taliban menyetujui gencatan senjata," kata Kantor Kepresidenan Afghanistan pada Ahad (8/9).

Pemerintah Afghanistan menolak seruan Taliban agar pemilu yang dijadwalkan pada 28 September 2019 dibatalkan sebagai prasyarat menandatangani perjanjian damai dengan AS.

"Pemerintah yang kuat, sah, dan legal melalui pemilihan mendatang untuk membawa proses perdamaian yang sedang berjalan maju dengan akurasi dan kehati-hatian," ujar kantor Kepresidenan Afghanistan.

Lonjakan serangan oleh gerilyawan Taliban di Afghanistan memperumit upaya perdamaian di wilayah itu. Jenderal Kelautan AS Kenneth McKenzie yang mengawasi tentara AS di wilayah itu menolak mengomentari negosiasi diplomatik yang hendak diupayakan.

Dia hanya mengkritik gelombang kekerasan Taliban yang membayangi terwujudnya kesepakatan tersebut. "Meningkatnya kekerasan oleh Taliban sangat tidak membantu (perundingan)," ujarnya pada Sabtu (7/9) waktu setempat.

Menurut dia, agar proses perdamaian bergerak maju, semua pihak harus berkomitmen pada penyelesaian politik. Hal itu dinilainya mampu menghasilkan tindak kekerasan yang terjadi. "Jika kita tidak bisa melakukan itu, maka sulit melihat para pihak melaksanakan perjanjian," ujar McKenzie.

photo
Ilustrasi Kelompok Taliban

Dalam rancangan perjanjian damai antara AS dan Taliban Afghanistan disebutkan bahwa AS akan menarik 5.000 tentaranya selama beberapa bulan mendatang. Sebagai gantinya, Afghanistan tidak akan digunakan sebagai pangkalan untuk serangan militan terhadap AS dan sekutunya.

Perjanjian damai untuk mengakhiri perang lebih dari 18 tahun ini akan bergantung pada pembicaraan internal Afghanistan. Pembicaraan tersebut bakal melibatkan para pejabat dan pemimpin masyarakat sipil.

Taliban menolak seruan gencatan senjata dan malah meningkatkan operasi di seluruh Afghanistan. Masih belum jelas apakah mereka akan menerima negosiasi langsung dengan Pemerintah Afghanistan yang mereka anggap sebagai rezim boneka ilegal.

Bagi warga Afghanistan, eskalasi serangan Taliban baru-baru ini menggarisbawahi kekhawatiran sulitnya mencapai kesepakatan dengan AS terkait penarikan tentara. Presiden Afghanistan Ashraf Ghani akan secepatnya mengeluarkan pernyataan resmi terhadap pengumuman Trump.

Di dalam barisan Taliban, tampaknya ada keraguan tentang bagaimana kesepakatan akan berlaku. Ini mengingat oposisi yang semakin besar terhadap kesepakatan dibandingkan pihak pemerintah. "Jangan tanya saya bagaimana menerapkan perjanjian perdamaian," ujar salah seorang pejabat Taliban. n kamran dikarma/reuters, ed: qommarria rostanti

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement