REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Nama lengkapnya KH Abdul Karim. Orang memanggilnya Mbah Manab. Dia adalah ulama besar yang berkontribusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman penjajah. Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, ini menggerakkan santrinya untuk ikut berjuang melawan tentara sekutu.
Kelahirannya terjadi di Desa Diyangan, Kawedanan, Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, pada 1856 Masehi. Dia merupakan putra ketiga dari empat bersaudara yang lahir dari pasangan Kiai Abdur Rahim dan Nyai Salamah. Saat masih kecil, orang tua memanggilnya Manab. Karena itu, dia kemudian dipanggil Mbah Manab.
Saat usia 14 tahun, Manab muda mulai berpisah dari orang tuanya untuk menuntut ilmu agama. Dia berangkat bersama kakeknya, Kiai Aliman, menuju sebuah pesantren di Desa Babadan, Gurah, Kediri. Kemudian, meneruskan pengembaraan ke daerah Cepoko, 20 kilometer arah selatan daerah Nganjuk. Di pesantren tersebut, Mbah Manab mempelajari ilmu agama kurang lebih selama enam tahun. Setalah dirasa cukup, dia meneruskan studi ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur.
Di Pesantren Trayang itu dia memperdalam pengkajian ilmu Alquran. Lalu, melanjutkan pengembaraan ke Pesantren Sono, sebelah timur Sidoarjo, yang terkenal de ngan ilmu Sharaf. Dia belajar di pesantren ini sekitar tujuh tahun. Selanjutnya, dia nyantri di Pondok Pesantren Kedungdoro, Sepanjang, Surabaya.
Hingga akhirnya, meneruskan pengembaraan ilmu di salah satu pesantren yang diasuh ulama kharismatik Madura, Syaikhuna Kholil Bangkalan. Tak tanggungtanggung, Mbah Manab berguru di pe santren ini selama 23 tahun. Dalam usia yang terus bertambah, dia masih belum tertarik membina rumah tangga.
Pada usia 40 tahun bahkan Mbah Manab masih meneruskan pencarian ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, yang diasuh oleh sahabat karib nya semasa di Bangkalan Madura, KH Hasyim Asy'ari. Hingga, pada akhirnya pen diri NU tersebut menjodohkan Mbah Ma nab dengan putri Kiai Sholeh dari Banjarmelati Kediri pada 1908 Masehi.
Mbah Manab menikah dengan Siti Khodijah Binti KH Sholeh yang kemudian dikenal dengan nama Nyai Dlomroh. Dua ta hun kemudian, beliau bersama istri tercintanya hijrah ke tempat baru, di sebuah desa yang bernama Lirboyo pada 1910 Masehi.
Perpindahan Mbah Manab ke Desa Lirboyo dilatarbelakangi dorongan mertuanya. Mereka berharap, dengan menetapnya Mbah Manab di Lirboyo akan menjadi tonggak penting syiar Islam di daerah itu. Di desa inilah kemudian dia mendirikan Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo.
Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin dibanjiri santri. Setelah pesantren berkembang, banyak santri-santrinya yang menjadi ulama besar. Di antaranya adalah KH Marzuqi Dahlan dan KH Mahrus Aly. Kedua ulama ini juga merupakan menantu Mbah Manab yang kemudian membantu mengembangkan Pesantren Lirboyo.
Mbah Manab, KH Marzuqi Dahlan, dan KH Mahrus Aly merupakan tiga tokoh penting Pondok Pesantren Lirboyo. Bio grafi ketiganya diceritakan dalam buku berjudul Tiga Tokoh Lirboyo yang diterbitkan Jausan Lirboyo pada Juli 2010.