Senin 09 Sep 2019 21:41 WIB

Ibnu Khaldun Rumuskan Hukum-Hukum Sosial

Ibnu Khaldun: Dengan akalnya, manusia dapat mengatur tindakannya secara tertib.

Ilmuwan Muslim berhasil memberikan penemuan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan penerus saat ini.
Foto: Photobucket.com/ca
Ilmuwan Muslim berhasil memberikan penemuan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan penerus saat ini.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Sarjana Jerman, Heinrich Simon, menyatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah orang pertama yang mencoba merumuskan hukum-hukum sosial. Ashabiyah (solidaritas sosial) adalah inti pemikiran Ibnu Khaldun tentang badawah (nomadisme-ruralisme), hadharah (peradaban), serta tegak dan runtuhnya negara. Mendirikan negara adalah tujuan ashabiyah, khususnya yang nomadis. Kemewahan dan kesenangan kehidupan urban cenderung melemahkan ashabiyah ini.

Manusia dan anugerah akal Seperti halnya sejarawan dan filsuf Muslim lainnya, Ibnu Khaldun memusatkan pemikirannya pada manusia. Menurut Ibnu Khaldun, manusia termasuk jenis binatang dan Allah membedakannya dari binatang lainnya melalui kemampuan berpikir. Dengan kemampuan akalnya, manusia dapat mengatur tindakannya secara tertib.

Sebelum memiliki kemampuan ini, menurut Ibnu Khaldun, manusia sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan dianggap sebagai binatang. Untuk mendapatkan pengetahuan itu, Allah pun menganugerahkan akal. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya, Dan Dia menciptakan bagi kalian pendengaran, penglihatan, dan akal.

Ibnu Khaldun mengatakan, ilmu pengetahuan yang diselami orang di perkotaan terdiri atas dua jenis. Pertama, yang bersifat alami bagi manusia dan diperoleh melalui bimbingan pikirannya. Kedua, yang bersifat naqli yang diperoleh dari penemunya.

Jenis pertama disebut ilmu-ilmu hikmah filsafat. Ilmu itu dapat diperoleh manusia melalui watak kemampuannya untuk berpikir. Dengan persepsi manusiawinya dia terbimbing kepada objek-objek, problem, argumen, dan metode pengajarannya. Karena itu, dia kemudian dapat memahami perbedaaan antara yang benar dan salah di dalamnya berdasarkan pemikiran dan riset sendiri karena dia adalah manusia yang mampu berpikir.

Sementara, jenis yang kedua disebut ilmu-ilmu berbasis naqli konvensional yang semuanya disandarkan pada informasi yang berasal dari syariat yang sudah ditetapkan. Di dalamnya tidak ada tempat bagi akal kecuali bila digunakan terkait dengannya untuk menghubungkan permasalahan detil dengan prinsip-prinsip dasar.

Kitab Muqaddimah ditulis dengan model wacana yang tepat untuk digunakan kalangan akademisi. Bahasa maupun gaya penulisannya mencerminkan cara diskursus di dalam diskusi akademis. Karena itu, kitab klasik ini sangat cocok bagi para pembaca modern yang senang menyelami pemikiran manusia-manusia terdahulu.

Sebuah buku yang tak diragukan lagi adalah karya terbesar dari jenisnya yang belum pernah diciptakan oleh pikiran siapa pun di waktu atau tempat mana pun, kata sejarawan Inggris, Arnold J Toynbee, saat mengomentari Muqaddimah.

Muqaddimah yang berarti 'pendahuluan' ini sejatinya merupakan kitab pengantar karya Ibnu Khaldun yang lebih tebal lagi, yaitu Kitab al-'Ibar. Namun, menariknya, kitab ini justru lebih populer dan berpengaruh daripada kitab induknya.

Penjelasan kitab Muqaddimah terjemah bahasa Indonesia ini terbagi atas enam bab. Setiap bab membahas berbagai persoalan, seperti tentang peradaban manusia, peradaban Badui, tentang kerajaan dan khilafah, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement