Senin 09 Sep 2019 17:48 WIB

Polri Tangkap Satu Terduga Dalang Kerusuhan Papua

FBK masuk kategori aktor intelektual yang tergabung dalam Aliansi Mahasiwa Papua.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andi Nur Aminah
Kabiro Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo
Foto: Arif Satrio Nugroho/Republika
Kabiro Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian terus memburu sejumlah tokoh dan mahasiswa yang dituduh terlibat sebagai dalang kerusuhan di Papua dan Papua Barat. Karo Penmas Humas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, akhir pekan lalu kepolisian menangkap salah satu dalang kerusuhan di Bumi Cenderawasih yang berasal dari kalangan mahasiswa.

“Sudah ada tersangka baru atas nama FBK. Dia ini masuk dalam kategori aktor intelektual yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP),” terang Dedi di Gedung Humas Polri, Jakarta, Senin (9/9). Kata Dedi, FBK ditangkap saat hendak pergi dari Jayapura, menuju Wamena, pada Jumat (6/9).

Baca Juga

Dedi menerangkan, dari hasil penyelidikan sementara FBK punya peran dalam memelopori kerusuhan di Jayapura yang terjadi pada Kamis (29/8). Kepolisian menuding FBK sebagai salah satu dalang dari kalangan terpelajar yang memprovokasi para mahasiswa, tokoh lokal, dan masyarakat Papua dan Papua Barat untuk turun ke jalan melakukan unjuk rasa yang berujung anarkistis.

Bukan cuma memprovokasi massa yang ada di Bumi Cenderawasih, Dedi mengatakan, penyelidikan meyakini FBK berperan memrovokasi mahasiswa Papua yang ada di luar Papua, untuk melakukan aksi turun ke jalan. “Peran tersangka ini, dia menggerakkan massa dari akar rumput yang membuat kerusuhan di Jayapura, dan wilayah Papua lainnya,” terang Dedi.

Penangkapan FBK ini menambah jumlah tersangka yang saat ini digelandang kepolisian ke ruang penyidikan gelombang kerusuhan di Papua dan Papua Barat. Kerusuhan di Bumi Cenderawasih itu, terjadi sejak Senin (19/8). Tiga pekan gelombang kerusuhan, kepolisian di Papua dan Papua Barat kini sedikitnya telah menetapkan sebanyak 78 tersangka. Di Papua, kepolisian menangkap 57 orang, dan di Papua Barat sebanyak 21 tersangka.

Akan tetapi, Polri luput dalam perannya melakukan penyelidikan dan penyidikan terkait korban sipil yang meninggal dunia. Di Deiyai, kerusuhan yang terjadi pada Rabu (28/8) menyebabkan jumlah korban meninggal dunia yang tak pasti. Menko Polhukam Wiranto, pekan lalu pernah menyebutkan angka korban jiwa dari kalangan sipil saat insiden di Deiyai, berjumlah empat orang.

Akan tetapi, jumlah berbeda dari kelompok relawan setempat mengatakan, sedikitnya ada tujuh warga sipil yang meninggal dunia dari insiden di Deiyai. Angka korban luka-luka, pun berbeda. Pemerintah meyakini adanya 16 korban luka-luka dari kalangan sipil yang semuanya dijadikan tersangka lantaran dianggap sebagai perusuh. Sedangkan informasi dari pemberitaan lokal menyebutkan puluhan orang luka-luka.

Namun yang pasti, korban juga terjadi di pihak keamanan. Satu anggota Tentara Nasional (TNI) meninggal dunia dalam insiden di Deiyai, dan dua lainnya luka-luka. Di pihak Polri, sedikitnya lima personel mengalami luka-luka. Mereka yang luka-luka, terjadi lantaran serangan dengan menggunakan senjata lokal seperti panah, dan tombak. Sedangkan korban luka kalangan sipil lantaran peluru.

Simpang siur angka korban tersebut, membuat Koalisi Masyarakat Sipil Papua mendesak pemerintah untuk membuka akses informasi yang seluas-luasnya di Papua dan Papua Barat. Sedikitnya 18 lembaga swadaya masyarakat di Bumi Cenderawasih, sepakat untuk bersatu membentuk konsorsium pengaduan dan pelaporan, serta penyelidikan tentang apa yang terjadi di Papua dan Papua Barat dalam tiga pekan terakhir.

Kordinator KontraS Papua Sam Awom yang ikut bergabung dalam koalisi mengatakan, pemerintah dan aparat dalam penanggulangan pascainsiden di Bumi Cenderawasih tampak bias dan tak berimbang. Sebab kata dia, pemerintah maupun aparat hanya menyampaikan informasi tentang jumlah penangkapan, dan kerugian materil dari rangkaian kerusuhan yang terjadi selama ini.

Sementara saat ini, Sam menyebut penyebab meninggal dunia, dan luka-luka, bahkan laporan tentang orang hilang dari kalangan sipil, tak pernah disampaikan ke publik. Sejumlah keluarga, kata Sam, juga kerap mendapatkan intimidasi dari aparat saat berada di rumah sakit untuk menjenguk korban luka, serta mendapat ketidak jelasan dari anak dan saudaranya yang diduga hilang.

“Tidak adanya transparansi dari pemerintah terkait jumlah korban luka maupun jiwa baik dari peristiwa di Jayapura maupun di Deiyai dan beberapa kota lainnya di Papua menunjukkan bahwa pemerintah terkesan secara sengaja melakukan praktek-praktek diskriminasi terhadap korban dan keluarga korban di Papua,” kata Sam, dalam rilis Amnesty Internasional yang diterima wartawan di Jakarta, Senin (9/9).

Menanggapi situasi tersebut, 18 LSM lokal yang ada di Papua dan Papua Barat, sepakat untuk bergabung memberikan pendampingan hukum, dan pelaporan, serta pengaduan untuk menyelidiki tentang praktik diskriminasi dan pelanggaran hak asasi yang dialami warga Bumi Cenderawasih pascainsiden. Selain KontraS, sejumlah organisasi kemasyarakatan lainnya, seperti LBH Papua, Elsham Papua, HMI Papua, GMKI, Pemuda Katholik Papua, serta PAHAM Papua, ikut bergabung.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement