REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Oleh Hasan Yazid Al-Palimbangy
Sebagian umat Islam menjadikan 10 Muharram sebagai Idul Yatama (lebaran anak yatim). Momentum untuk membahagiakan anak yatim. Namun bukan berarti santunan anak yatim hanya pada hari tersebut. Dalam kitab Faidul Qadir disebutkan, menjamu anak yatim dan keluarga pada tanggal tersebut merupakan sunnah Nabi dan tergolong ibadah sosial yang luar biasa keutamaannya.
Ada dua kategori ibadah. Pertama, qoshirah (ibadah individual) yang manfaatnya hanya bagi pelakunya dan pahalanya berakhir dengan berhentinya pelaku dari melaksanakan ibadah .Seperti shalat, puasa, haji, umrah, zikir dan lain-lain.
Kedua, muta'addiyah (ibadah sosial) yang manfaatnya bagi pelaku dan orang lain.Selama orang lain merasakan manfaat, pahalanya terus mengalir walaupun pelaku sudah tidak melaksanakannya. Contohnya, sedekah, menyantuni dan membantu yatim dan janda yang tergolong fuqara'.
Kaedah fiqih menyebutkan "al-Muta'addiyah afdhal min al-Qashirah" (ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual).
Ada beberapa indikator keutamaan muta'addiyah dibanding qoshiroh. Pertama, merujuk pada Alquran, hadis dan pendapat ulama bahwa dimensi ibadah sosial lebih luas daripada ibadah individual.
Ayat tentang muttaquun (orang-orang yang bertakwa) semuanya orang-orang yang menonjol aspek sosialnya. "Orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang yang menahan amarah dan memaafkan orang lain." (QS.3: 134)
Orang bertakwa pada ayat di atas ada empat, semuanya bersifat sosial, hanya satu yang bersifat ritual.
Kedua, surga bagi penyantun anak yatim lebih berkualitas daripada surga bagi haji mabrur. “Dari umrah ke umrah penghapus dosa dan haji mabrur pahalanya surga.” (HR.Bukhari, Muslim ). "Aku dan penanggung anak yatim di surga seperti ini.Beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahNya dan merenggangkan antara keduanya.” (HR Bukhari)
Hadis pertama tidak menyebutkan tingkatan surganya.Sedangkan hadis kedua menjelaskan bahwa surga bagi penyantun anak yatim paling berkualitas yaitu surganya Rasulullah SAW. Sayang, mayoritas umat Islam berlomba-lomba haji dan umrah berkali-kali dibanding menyantuni anak yatim.
Ketiga, bila tidak mampu ibadah individual, kifaratnya ibadah sosial. Tidak mampu puasa, dan berhubungan suam istri siang hari Ramadhan, tebusannya memberi makan orang miskin.
Keempat, ibadah individual tidak bermakna bila melanggar norma sosial. “Tidak beriman orang kenyang, sementara tetangganya kelaparan. Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahim.” Orang shalat akan celaka, bila menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang miskin, riya dan enggan membantu (QS Al-Maa’uun).
Kelima, pahala ibadah sosial lebih besar daripada ibadah sunah. “Orang-orang yang menyantuni janda dan orang-orang miskin, seperti pejuang di jalan Allah, dan seperti orang yang terus-menerus shalat malam dan puasa.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada momentum lebaran yatim ini, mari fastabiqul khoirot (berlomba-lomba dalam kebaikan) dengan cara membahagiakan anak yatim serta membantu meringankan beban saudara kita kaum dhuafa.