REPUBLIKA.CO.ID, ABU DHABI -- Menteri Energi Arab Saudi ingin memperkaya uranium untuk program pembangkit tenaga nuklir. Hal itu berpotensi mempersulit pembicaraan perjanjiaan atom dengan Amerika Serikat (AS) dan peran-peran perusahaan AS.
Pengayaan uranium telah menjadi perekat AS-Arab Saudi. Hal itu terutama setelah penguasa negeri itu Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman pada 2018 mengatakan kerajaan Sunni itu akan mengembangkan senjata nuklir jika saingan mereka Syiah Iran melakukannya.
Pengekspor minyak dunia itu mengatakan ingin menggunakan energi nuklir untuk mendiserfikasi energi. Tapi pengayaan juga membuka kemungkinan penggunaan uranium untuk militer.
"Kami melakukannya dengan hati-hati, kami bereksperimen dengan dua reaktor nuklir," kata Pangeran Abdulaziz bin Salman, Selasa (10/9).
Ia menyinggung rencana untuk membuka tender dua reaktor tenaga nuklir pertama di negara Teluk Arab itu. Pada akhirnya, kata Abdulaziz bin Salman, Arab Suadi ingin melanjutkan program nuklir skala penuh, termasuk produksi dan pengayaan uranium untuk bahan bakar atom.
Tender reaktor nuklir itu diperkirakan akan dibuka pada 2020. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat, Rusia, Korea Selatan, China, dan Prancis ikut dalam pembicaraan proyek miliaran dolar AS itu.
Reaktor atom membutuhkan uranium yang diperkaya dengan tingkat kemurnian 5 persen. Tapi teknologi yang sama juga dapat digunakan untuk memperkaya logam berat ke tingkat yang lebih tinggi lagi sampai ke level senjata.
Arab Saudi mendukung 'tekanan maksimal' yang dilakukan Presiden AS Donald Trump terhadap Iran. Trump menarik AS dari kesepakatan nuklir 2015 atau dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Agar perusahaan AS dapat berpartisipasi dalam tender reaktor nuklir harusnya Riyadh menandatangani perjanjian penggunaan teknologi nuklir untuk tujuan damai dengan Washington. Deputi Menteri Energi AS Dan Brouillette mengatakan AS akan menandatangani perjanjian yang dikenal sebagai kesepakatan 123.
"Ini penting bagi kami, terkait dengan teknologi AS, kami akan mengejar kesepakatan 123, kami ingin melihat kesepakatan 123 menyertai kesepatan apa pun yang terkait dengan mengiriman atau penggunaan teknologi AS di Arab Saudi atau tempat lainnya," kata Brouillette.