REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memastikan bahwa pencabutan paspor tersangka kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoaks, Veronica Koman, sudah sesuai aturan yang berlaku. Pernyataan Yasonna ini menanggapi tudingan sejumlah pihak bahwa pencabutan paspor Veronica adalah bentuk pelanggaran HAM.
"Kan ada ketentuan, dalam UU Imigrasi dimungkinkan kalau ada permintaan dari. Dulu sudah pernah di Singapura kan ada itu," kata Yasonna di Istana Negara, Selasa (10/9).
Yasonna menyebutkan permintaan pencabutan paspor Veronica dilakukan atas permintaan Polda Jawa Timur. Syarat dari penegak hukum ini lah yang kemudian menjadi dasar langkah Ditjen Imigrasi mencabut paspor Veronica.
"Sudah masuk, jadi biar dirjen yang nangani. Kalau melanggar hukum kan bisa, permintaan bisa. Kalau bukan ekstradisi, diusir dia di sana karena dia tidak punya (paspor berlaku)," jelas Yasonna.
Pencabutan paspor tersebut dianggap sesuai dengan aturan yang tertuang dalam Pasal 31 ayat 1 dan 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011. Dalam aturan itu disebutkan bahwa pencabutan paspor dapat berlaku bagi tersangka yang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun.
Sebelumnya, Polda Jatim menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka kasus ujaran kebencian dan penyebaran berita hoaks terkait insiden di Asrama Mahasiswa Papua (AMP) di Jalan Kalasan Surabaya, pada 17 Agustus 2019. Polisi menduga Veronica melakukan provokasi di media sosial Twitter.
Polisi menyatakan pesan tersebut ditulis menggunakan bahasa Inggris dan disebar ke dalam negeri dan luar negeri. Padahal, pesan tersebut dibuat tanpa fakta yang sebenarnya.
Akibat perbuatan yang dilakukannya, Veronica dijerat dengan pasal berlapis yakni UU ITE KUHP Pasal 160 KUHP, kemudian UU Nomor 1 Tahun 1946 dan UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Suku, Etnis, dan Ras.