REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Islam memberikan perhatian yang cukup besar terhadap anak yatim. Bahkan, kata 'yatim' disebutkan beberapa kali dalam ayat Alquran.
Mantan rektor Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta, KH Dr Ahsin Sakho Muhammad, mengatakan kata yatim disebutkan sebanyak 23 kali dalam Alquran. Kata yatim disebut dalam bentuk tunggal sembilan kali dan dalam bentuk jamak/plural 13 kali.
"Kata yatim ada yang berbentuk tunggal dan ganda tatsniyah (yatimaini) serta jamak (yataama). Bentuk tatsniyah disebut satu kali dalam ayat Alquran," kata Ustaz Ahsin saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (10/9).
Dia mengatakan, tidak ada perbedaan antara makna dalam bentuk tunggal ataupun jamak. Secara umum hanya perbedaan redaksi saja dan tergantung pada konteksnya.
Misalnya, pada surah al-Kahfi ayat 82, kata 'yatiimaini' bermakna dua orang anak yatim.
Dalam ayat tersebut, dikisahkan bahwa Nabi Khaidir AS membangun tembok yang hampir roboh agar harta yang terpendam di bawahnya yang menjadi milik anak yatim itu tetap terlindungi.
Di dalam Alquran, kata Kiai Ahsin, kata yatim disebut dalam konteks anak-anak yang harus dilindungi dan diperlakukan secara baik. Penggunaan kata yatim umumnya banyak terdapat pada ayat-ayat Makkiyah (yang turun di Makkah).
Dia menjelaskan, yatim dalam bahasa Arab memiliki pengertian anak yang ditinggal wafat ayahnya dan belum mencapai baligh. Anak yatim diperhatikan dalam Alquran.
Sebab, menurutnya, ayah merupakan tulang punggung keluarga, terutama dalam bidang ekonomi. Karenanya, ketika sang ayah meninggal itu diumpamakan seakan-akan rumah yang hampir roboh.
Dengan demikian, anak yatim disebut sebagai anak yang kehilangan sandaran dalam kehidupannya. Karena itu, Ustaz Ahsin mengatakan bahwa orang demikian tidak boleh diberi kesusahan lagi, salah satunya dengan cara tidak berkata kasar terhadapnya.
Adapun jika anak yatim itu memiliki harta peninggalan dari ayahnya, maka Islam pun mengatur cara memperlakukan harta anak yatim.
Menurut Ustaz Ahsin, hendaknya harta tersebut dikelola oleh keluarga atau orang yang diberi wasiat jika anak yatim tersebut belum baligh dan belum pandai mengelola harta.
Adapun jika harta atau uang tersebut akan dikelola, hendaknya harta diinvestasikan sehingga menghasilkan keuntungan. Sebab, sang penerima wasiat harus bertanggung jawab seandainya harta yatim yang dikelola itu gagal.
Allah mewajibkan setiap yang memiliki harta untuk berzakat. Karena itu, harta anak yatim pun wajib dizakati jika bagian (yang menjadi hak) masing-masing anak yatim tersebut mencapai nishab.
Namun, agar harta tersebut tidak habis karena zakat setiap tahunnya, Siti Aisyah pernah meriwayatkan agar harta tersebut dikembangkan agar menghasilkan keuntungan.
Umar RA mengatakan, "Perdagangkan harta anak yatim, agar tidak berkurang karena dizakati." Siti Aisyah juga menyatakan yang sama. Pendapat ini diriwayatkan Malik dalam al-Muwaththa', al Baihaqi, dan ad-Daruquthni 2:110).
"Karena itu, harta anak yatim bisa diberikan kepada pengelola keuangan yang bertanggung jawab. Jika yang mengurusnya orang yang kaya, maka ia tidak perlu meminta atau menggunakan harta yatim. Adapun jika fakir yang mengelola, ia boleh meminta dari harta itu tetapi tidak boleh keterlaluan," tambahnya.