Rabu 11 Sep 2019 12:46 WIB

Arkeolog Ungkap Puing Keraton Lama Kesultanan Tidore

Kesultanan Tidore sebelumnya berada di Toloa.

Ilustrasi Maluku
Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Ilustrasi Maluku

REPUBLIKA.CO.ID, AMBON— Tim arkeolog dari Balai Arkeologi Maluku menemukan fondasi "Kadato Biji Negara", keraton lama Kesultanan Tidore di Toloa sebelum pusat pemerintahan dipindahkan ke Soa Sio oleh Sultan Syaifuddin pada pertengahan abad ke-17.

Para peneliti yang dikoordinasi oleh arkelog, Syahruddin Mansyur, menemukan fondasi bekas Kadato Biji Negara ketika melaksanakan penelitian bertajuk "Kesultanan Tidore: Toponim, Pemukiman, Perkembangan Pusat Kesultanan Islam dan pengaruhnya di pulau-pulau sekitar". Penelitian berlangsung selama 20 hari yang dimulai pada 18 Agustus 2019 di Pulau Tidore.

Baca Juga

Syahruddin mengatakan jejak tinggalan sejarah tersebut ditemukan setelah tim peneliti melakukan berbagai kajian tentang awal mula pemerintahan Kesultanan Tidore dari berbagai sumber sejarah, termasuk menghimpun sejarah dan tradisi tutur yang beredar di masyarakat setempat.

Kondisi fondasi Kadato Biji Negara saat ditemukan pertama kali, kata dia, hanya sebagian yang terlihat dari permukaan tanah, sedangkan sebagian lainnya sudah tertimbun tanah, sehingga harus dilakukan ekskavasi agar bisa mengindetifikasi keseluruhan struktur fondasi yang tersisa.

"Kondisinya hanya tersisa fondasi dan yang muncul dipermukaan sangat sedikit, maka kami melakukan penggalian untuk mengindetifikasinya lebih lanjut, baik bentuk struktur maupun bahan yang digunakan untuk bangunan keraton lama," kata dia di Ambon, Rabu (11/9). 

Kadato Biji Negara, kata Syahruddin, merupakan keraton lama kesultanan Tidore saat pemerintahan masih berpusat di Toloa, bagian barat Pulau Tidore, tapi kemudian ditinggalkan ketika pusat pemerintahan dipindahkan ke Soa Sio yang berada di sisi timur Pulau Tidore.

Pengalihan pusat pemerintahan Kesultanan Tidore terjadi sekitar pertengahan abad ke-17, pada masa pemerintahan Sultan Syaifuddin yang bergelar Jou Kota atau dalam bahasa setempat artinya sultan yang diantar.

Berdasarkan beberapa catatan sejarah yang ada, pemindahan pusat kekuasaan Tidore ke pesisir timur pulau berkaitan dengan konflik perdagangan jalur rempah yang terjadi antara Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate.

Kesultanan Tidore kala itu menjalin hubungan kerja sama dengan pihak Spanyol, sementara Ternate bekerja sama dengan Portugis dan kongsi dagang Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie-VOC).

"Akibat konflik antara Ternate dengan Tidore, karena ketika pusat kesultanan berada di posisi barat akan berhadapan langsung dengan pihak Ternate. Tapi ada juga sejarah tutur masyarakat yang menyebutkan dipindahkan karena kesultanan haruslah menghadap ke arah timur," katanya. 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement