REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bersama DPR RI tengah membahas usulan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam revisi itu hanya satu klausul pada Pasal 7 ayat 1 mengenai batasan usia perkawinan.
"Hanya Pasal 7 ayat (1) yang diusulkan untuk diubah," ujar Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Lenny N Rosalin kepada Republika, Kamis (12/9).
Dalam Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Sementara pemerintah mengusulkan batas usia perkawinan yang diizinkan disamakan antara laki-laki dan perempuan, yaitu 19 tahun.
Lenny memaparkan, ada dampak positif dari revisi batas usia yang diizinkan untuk menikah. Diantaranya peningkatan akses pendidikan anak dan wajib belajar serta menurunkan angka kematian ibu dan bayi.
Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak yang menyatakan usia anak adalah nol hingga 18 tahun. Undang-Undang Perkawinan perlu segera direvisi karena Indonesia menempati peringkat atas kejadian perkawinan anak.
Lenny menambahkan, Kementerian PPPA akan rapat bersama Baleg DPR RI Kamis pagi untuk membahas usulan revisi UU Perkawinan tersebut. Sebelumnya, Panitia kerja (Panja) DPR revisi Undang-Undang (UU) Perkawinan telah sepakat soal usia minimum perkawinan.
Semua fraksi di DPR sepakat untuk menaikkan batas usia perempuan dan laki-laki yang diizinkan menikah menjadi 18 tahun. Dengan disepakatinya usia minimum pernikahan oleh Panja, revisi UU tentang Perkawinan bisa dibawa ke rapat paripurna. Untuk diusulkan sebagai RUU inisiatif DPR.
"Perubahan ini konsekuensi dari keputusan MK, yang menyatakan usia minimum antara laki-laki dan perempuan tidak boleh diskriminatif. Akan dibawa di paripurna sebagai usul inisiatif," ujar Wakil Ketua Baleg DPR Sarmuji saat dikonfirmasi, Rabu (11/9).