REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan penghinaan fisik atau body shaming yang kini lebih banyak terjadi di dunia maya didorong untuk diselesaikan di luar jalur pengadilan.
"Lebih banyak pola pendekatan penyelesaian di luar pengadilan. Kami mediasi dan tidak naik ke proses penyidikan, tetapi kalau ngotot polisi profesional," ujar Dedi Prasetyo di Jakarta, Kamis (12/9).
Penghinaan yang dilakukan oleh individu kepada individu lain sebagai salah satu kejahatan siber dikatakannya mengalami peningkatan. Penghinaan fisik dari yang sebelumnya lebih banyak dilakukan secara langsung mengalami perubahan tren melalui media sosial.
Dari Januari sampai Agustus 2019, sebanyak 22 kasus terkait penghinaan berbau SARA ditangani Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri serta jajaran polda. Sementara fisik yang kerap menjadi objek hinaan antara lain warna kulit serta bentuk wajah.
"Dulu pasal KUHP sekarang beralih ke sarana IT untuk melakukan penghinaan," tutur Dedi Prasetyo. Sementara selama 2018 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima laporan kasus perundungan di dunia maya atau cyber bullying sebanyak 206 kasus, termasuk di antaranya penghinaan fisik.
Kasus itu terjadi di kalangan para siswa, seiring dengan tingginya penggunaan internet dan media sosial. Jumlah tersebut mulai meningkat sejak 2015, sementara sebelum 2015 tidak terdapat satu pun laporan perundungan di dunia maya.