Jumat 13 Sep 2019 07:47 WIB

Tahajud Pendiri NU dan Dihapusnya 7 Kata Piagam Jakarta

Dihapusnya 7 kata Piagam Jakarta demi persatuan bangsa.

Rep: Febryan A/ Red: Nashih Nashrullah
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj (biru) bersama Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI).
Foto: Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj (biru) bersama Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Pendiri Nahdlatul Ulama, KH M Hasyim Asya’ari ternyata melakukan proses berpikir dan berserah diri sebelum mengambil sikap terkait penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. 

Setelah bertahajud, dia pun akhirnya setuju. Satu alasannya yaitu demi persatuan bangsa. Hal ini diungkapkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj, ketika menjadi pembicara di kegiatan seminar yang diselenggarakan Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (12/9).

Baca Juga

Adapun kata-kata yang menuai polemik dalam Piagam Jakarata itu adalah: "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Akhirnya, dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, tujuh kata setelah kata 'Ketuhanan' disepakati untuk dihapus.

Kabar terkait Piagam Jakarta yang menuai polemik itu, tutur Said, sampai ke telinga KH Hasyim Asy’ari setelah anaknya, Kiai Wahid Hasyim, pulang untuk menghadap ke kediamannya di Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Kiai Wahid saat itu salah satu anggota (PPKI).  

Kiai Wahid (ayah dari Gus Dur) pun, lanjut Said, menceritakan bahwa saudara-saudara non-Muslim dari Indonseia timur merasa keberatan dengan tujuh kata dalam piagam tersebut. 

Mendengar kabar demikian, Sang Pendiri NU itu hanya menjawab singkat, "Tunggu nanti malam, saya shalat dulu, minta petunjuk dari Allah".

Pagi pun datang, Kiai Hasyim akhirnya menyampaikan sikapnya kepada sang anak. "Wahid, saya setuju (tujuh kata) dalam Piagam Jakarta dihilangkan, yang penting Indonesia kuat dulu, persatuan dan kesatuan kuat dulu. Di atas negara inilah kita berdakwah, kita berjuang mensyiarkan agama Islam, kita bangun masjid, pesentren, madrasah, dan majelis taklim," kata Kiai Hasyim sebagaimana dituturkan Said Aqil.

Menurut Said, tanpa memiliki Tanah Air, memang tidak mungkin bisa berjuang menyiarkan Islam. "Karena berjuang itu berpijak di Tanah Air," ucapnya.

Hal itu, sambung Said, dicontohkan langsung Nabi Muhammad SAW. Nabi berjuang mendirikan Madinah lalu menyebarkan agama Islam dengan damai dan santun hingga membawa rahmat bagi semua.   

"Oleh karena itu KH Hasyim Asy’ari dan NU setuju tujuh kata itu dicopot, karena yang penting negara ini kuat dan bersatu dulu," terang Said.

Lebih lanjut, Said mengatakan, tiada artinya bicara syariat Islam kalau akhirnya terjadi perang saudara. Dia mencontohkan bagaimana Afghanistan bicara syariat Islam setalah Soviet minggat, namun setelah 40 tahun berselang yang terjadi malah kekacauan. Perang saudara bergejolak dan memakan korban jiwa ratusan ribu.

"Apa artinya syariat Islam kalau mengakibatkan berantakan, tidak ada arti apa-apa. Maka sebenarnya Timur Tengah sangat memandang Indonesia dengan hormat," tutur dia. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement