REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Selandia Baru memperkenalkan rancangan undang-undang (RUU) pengendalian peredaran senjata api. Hal itu dilakukan enam bulan pascaserangan teror di dua masjid di Christchurch yang menewaskan 51 orang.
"Memiliki senjata api adalah hak istimewa, bukan hak," kata Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern pada Jumat (13/9), dikutip laman Aljazirah.
Dia tak menampik RUU itu tercetus dari insiden penembakan di Christchurch. "Serangan itu memperlihatkan kelemahan dalam undang-undang, yang kita punya daya untuk memperbaikinya. Kami tidak akan menjadi pemerintah yang bertanggung jawab jika kami tidak mengatasinya," ujar Ardern.
RUU tersebut dijadwalkan dibacakan perdana pada 24 September mendatang. Dalam RUU itu, dicantumkan pasal tentang pendaftaran guna memantau dan melacak setiap senjata api yang beredar.
Selain itu, RUU memperkuat aturan tentang lisensi. Setiap individu yang memiliki izin mempunyai senjata harus memperbarui lisensi mereka setiap lima tahun. Sebelumnya, pembaruan dilakukan 10 tahun sekali.
Ardern mengungkapkan pemerintahannya menyiapkan lebih banyak dana untuk para penyintas insiden Christchurch. Dana itu diperuntukkan bagi kesehatan psikis dan mental mereka.
"Sangat penting bagi para penyintas, keluarga, komunitas Muslim, dan masyarakat Christchurch tahu kita akan berada di sana untuk mendukung mereka dalam jangka panjang," ujar Ardern.
Pada 15 Maret lalu, dua masjid di Christchurch menjadi sasaran aksi penembakan brutal. Sebanyak 51 orang meninggal dalam insiden tersebut dan puluhan lainnya luka-luka. Ardern mengatakan kejadian itu merupakan peristiwa terkelam di negaranya.