REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR dan pemerintah sepakat untuk menambah jumlah kursi pimpinan MPR melalui revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3). Dengan begitu, rancangan revisi UU MD3 akan disahkan pada rapat paripurna DPR.
"Pemerintah menyetujui secara prinsip substansi rancangan UU Perubahan Ketiga atas UU MD3 beserta naskah akademiknya dan pemerintah bersedia untuk melanjutkan pembahasan rancangan UU tentang MD3 dalam sidang paripurna dan dapat disahkan menjadi UU," ujar Tjahjo dalam rapat Panja UU MD3 bersama DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (13/9).
Tjahjo mengatakan, revisi UU MD3 menjadi skala prioritas bagi pemerintah bersama-sama dengan DPR. Apalagi revisi UU tersebut sudah ditunggu oleh pimpinan MPR dan DPD karena pada 1 Oktober mendatang sudah ada pergantian anggota legislatif.
"Mudah-mudahan paripurnanya tidak lama. Sehingga masih ada rapat ditingkat DPD RI dan MPR RI menyikapi hasil keputusan ini," jelasnya.
Ketua Panja RUU MD3, Totok Daryanto, dalam rapat menyebutkan, revisi UU MD3 ada pada penyempurnaan redaksi pada Pasal 15 ayat (1) beserta penjelasannya. Bunyi pasal tersebut menjadi, "Pimpinan MPR terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merupakan representasi dari masing-masing fraksi dan kelompok anggota yang dipilih dari dan oleh anggota MPR."
"Dengan rumusan penjelasan sebagai berikut: "Yang dimaksud dengan 'representasi' dari masing-masing fraksi dan kelompok anggota adalah setiap fraksi atau kelompok anggota mengajukan satu orang Pimpinan MPR," jelas Totok.
Sebelumnya, Baleg DPR RI bersama pemerintah mulai membahas revisi Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK dan UU Nomor 2/2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3 pada Kamis (12/9) malam. Unsur pemerintah melibatkan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Pembahasan ini dilakukan hanya sehari setelah Surat Presiden (Surpres) terkait pembahasan kedua RUU ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke DPR pada Rabu (11/9) sore. Surpres ini juga belum dibahas dalam Rapat Paripurna.
“Surpres tidak perlu diparipurnakan, dibamuskan (rapat Badan Musyawarah) boleh,” kata Menkumham Yasonna Laoly sebelum rapat Baleg di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu.
Menurut Yasonna, Bamus DPR tinggal menunjuk siapa yang bertanggung jawab soal ini. Sementara DPR bersama utusan Presiden tinggal membahas UU yang akan direvisi. “Siapa yang melakukan barang itu kita sami’na wa ato’na,” imbuhnya.