REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Oce Madril mengatakan, banyak pelanggaran selama proses pemilihan pimpinan KPK dan revisi UU KPK kali ini. Sayangnya, semua seakan dibiarkan saja.
Ia menilai, mulai dari gagasan menjadikan KPK sebagai lembaga yang tidak lagi independen disebut sudah melanggar banyak konsep. Implikasinya akan sangat besar ke lembaga-lembaga independen lain.
Menurut Oce, ide menjadikan KPK tidak independen bertentangan kehendak konstitusi yang tertera dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu, banyak pula UU yang akan dilanggar.
Uniknya, setelah Presiden Jokowi mengeluarkan surpres usulan revisi UU KPK, belakangan beredar poin-poin yang dikabarkan ditolak. Bagi Oce, itu tidak mengubah fakta persetujuan Presiden Joko Widodo.
"Sebetulnya pemerintah setuju, setuju revisi UU KPK, setuju adanya dewan pengawas, setuju izin penyadapan, setuju status pegawai KPK, itu sebetulnya presiden setuju," kata Oce, Jumat (13/9).
Puing-puing sisa pascakericuhan di depan gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/9).
Hal itu, lanjut Oce, semakin dilengkapi terpilihnya Firli Bahuri sebagai ketua KPK. Walaupun, Firli sudah diumumkan melanggar kode etik yang makin menegaskan niat pemerintah dan DPR lemahkan KPK.
"Tanpa membubarkan KPK, KPK sudah bubar atau lumpuh, pemilihan Firli Bahuri menyempurnakan pelumpuhan KPK," ujar Oce saat mengisi Diskusi Pelemahan KPK 4.0 di kantor Pukat UGM.
Ia mengingatkan, di DPR masih ada pembahasan-pembahasan RUU yang memiliki kaitan erat dengan pelemahan KPK. Mulai RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan sampai RUU Sumber Daya Air.
Oce menegaskan, semua RUU yang akan dibahas pada akhir-akhir masa jabatan DPR itu memiliki kaitan sangat erat dengan pemberantasan korupsi. Pembahasan itu sekaligus mempertegas niatan DPR sejak awal.
"Mengebut perundang-undangan yang berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi, dan berpotensi menimbulkan pelanggaran-pelanggaran HAM pada masa mendatang," kata Oce.