REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menyatakan likuiditas perbankan syariah masih terbuka terjadi peningkatan. Hal ini menyusul adanya kekhawatiran sebagian perbankan syariah lantaran munculnya Sukuk Tabungan yang diterbitkan pemerintah.
Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Dwi Irianti Hadiningdyah mengatakan pengetatan likuiditas perbankan yang ditengarai akibat kompetisi antara pemerintah dengan perbankan perlu ditelaah lebih dalam lagi.
“Ada kemungkinan faktor-faktor lain yang memengaruhi pengetatan likuiditas perbankan pada tahun ini,” ujarnya ketika dihubungi Republika, Jumat (13/9).
Merujuk data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Juni 2019, total Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp 5.799,5 triliun atau naik 169 triliun dibandingkan total DPK Desember 2018 sebesar Rp 5.630,5 triliun. Kenaikan ini masih lebih rendah dari total penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) Ritel sebesar Rp 33,32triliun.
Di sisi lain, SBN Ritel yang jatuh tempo tahun ini mencapai Rp 31,50 triliun. Sedangkan total SBSN Ritel yang diterbitkan baru mencapai Rp 38,33 triliun.
Sebelumnya Direktur Utama BCA Syariah John Kosasih mengatakan adanya sukuk pemerintah juga membuat biaya dana atau cost of fund perbankan syariah akan meningkat, sehingga pricing pembiayaan juga naik.
"Surat Berharga Negara (SBN) masuk ke riil sektor dananya muter lagi, kalau tidak muter maka dana stagnan. Asumsi agak lambat (penyaluran kredit) maka ketersediaan DPK akan terbatas," ujarnya kepada Republika di Kantor Pusat BCA Syariah, Jakarta, Kamis (12/9).