REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian saat ini dianggap sudah tak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi dunia usaha termasuk koperasi. Oleh sebab itu UU Perkoperasian perlu segera disempurnakan guna mewadahi karakter gotong royong dan kebersamaan masyarakat Indonesia dalam mengembangkan ekonomi masyarakat.
"Regulasi yang mengatur tentang perkoperasian ini perlu disempurnakan sesuai dengan dinamika kondisi saat ini berikut persoalan yang dialami dalam implementasinya," kata Kapoksi F-PKB di Komisi VI DPR RI Nasim Khan saat Pengambilan Keputusan Pembicaraan Tingkat I RUU tentang Perkoperasian Jumat (13/9).
Ia memandang, terdapat beberapa persoalan yang dihadapi terkait penyelenggaraan kegiatan perkoperasian, diantaranya yakni permodalan koperasi, sumber daya manusia (anggota, pengurus, pengawas)."Kemudian, Koperasi yang belum menjalankan prinsip-prinsip koperasi serta manajemen koperasi yang dijalankan masih belum profesional dan juga Gerakan Koperasi," ujar Nasim Khan.
Atas kondisi tersebut, Revisi UU Perkoperasian diperlukan sebagai langkah penyempurnaan regulasi sebelumnya. Menurut Wakil rakyat asal Jatim III (Kabupaten Situbondo, Kabupaten Banyuwangi, dan Kabupaten Bondowoso), ada beberapa poin penting dalam penyempurnaan UU Koperasi dan poin- poin itu sudah termaktub dalam draft RUU Perkoperasian.
Adapun poin-poin yang menjadi fokus fraksinya yakni, pertama, tentang Penormaan terhadap asas, nilai dan prinsip koperasi yang lebih sistematis, sehingga dapat menjadi sumber inspirasi dan menjiwai secara keseluruhan organisasi dan kegiatan usaha Koperasi.
"Kedua, Dimasukkannya bentuk Koperasi yang menjalankan prinsip-prinsip Syariah ke dalam Undang-Undang Perkoperasian menjadi payung hukum terhadap praktik syariah dalam penyelenggaraan koperasi," kata Nasim Khan.
Meski demikian, F-PKB memandang bahwa draft RUU pengganti UU Nomor 25 Tahun 1992 yang berisi 16 Bab dan 145 pasal itu memiliki catatan krusial dalam rangka melaksanakan azas, nilai, dan prinsip secara utuh.
Adapun catatan F-PKB terhadap ketentuan dalam draft RUU Perkoperasian ini diantaranya yakni, pertama, Proses birokrasi dalam rangka pendirian koperasi yang terdiri dari adanya proses penyuluhan dan rekomendasi pemerintah disetiap pendirian koperasi dirasa menghambat berkembangnya koperasi dan menjadi hambatan dalam kemudahan mendirikan usaha.
"Dan juga adanya keharusan pelaporan perkembangan kelembagaan, usaha. dan keuangan secara berkala kepada pemerintah tidak sesuai dengan prinsip otonomi dan kemandirian koperasi," kata Nasim Khan. Menurut F-PKB, Maksud pemerintah yang ingin menghindari penyalahgunaan kegiatan koperasi dan praktik sesat koperasi dapat dilakukan dalam proses pengawasan koperasi terkait dengan penerapan asas dan prinsip yang dijalankan oleh koperasi.
Kemudian berkaitan dengan Gerakan Koperasi, terdapat klausul yang menyatakan bahwa Gerakan koperasi mendirikan suatu Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin; yang didalam Penjelasan pasal 130 ditautkan dengan Organisasi Dewan Koperasi Indonesia), menimbulkan tunggalisasi wadah gerakan koperasi sehingga menyalahi asas demokrasi dan otonomi dari koperasi.
"Klausul ini memberikan keistimewaan kepada organisasi Dewan Koperasi Indonesia dan menghambat tumbuh kembangnya wadah Gerakan koperasi lain," jelas dia.
Sebagai informasi, terdapat enam Partai yang mengambil sikap 'Setuju' untuk dilanjutkan pembahasannya ke Rapat Paripurna. Keenam partai itu yakni, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PKS, Fraksi Partai PAN, Fraksi Partai Nasdem dan Fraksi Partai Hanura.
Sementara empat partai lainnya mengambil sikap 'tidak setuju' untuk dilanjutkan pembahasannya ke Rapat Paripurna. Adapun keempat partai tersebut yakni, Fraksi Partai PDI-Perjuangan, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai PKB dan Fraksi PPP.