REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dikebutnya pemilihan pimpinan KPK dan Revisi UU KPK menuai kontroversi dan kecurigaan di masyarakat. Bahkan, pembentukan Pansel Capim KPK yang memilih 10 capim menuai penolakan karena diduga kuat memiliki kepentingan. Bagi Direktur Pusat Studi Hukum dan HAM (Pusham) UII, Eko Riyadi, semua itu semakin jelas terlihat dari pemilihan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. Sebab, sudah ditegaskan statusnya melanggar kode etik.
Ia menekankan, tidak ada alasan memperdebatkan independensi KPK. Tapi, ternyata independensi itu diusik dengan rencana membuat pegawai-pegawai KPK sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Eko memperkirakan, jika revisi UU KPK itu benar-benar jadi UU, implikasinya KPK akan sekadar lembaga sosialisasi. Artinya, penindakan-penindakan tidak akan lagi menjadi fokus KPK.
"Selama ini, kalau lembaga independen di ASN-kan, akan mati, tidak ada satu pun kasus yang dibawa ke pengadilan," kata Eko saat mengisi Diskusi Pelemahan KPK 4.0 di Kantor Pukat UGM, Jumat (13/9).
Selain itu, ia melihat, belakangan pemerintah dan DPR sangat solid menghadirkan kewajiban KPK mengeluarkan SP3. Eko merasa, kekompakan itu jelas semakin menguatkan dugaan masyarakat selama ini.
"Sebenarnya, kasus siapa yang sedang ingin di SP3 kan, kenapa akur sekali, pemerintah dan DPR sedang memperjuangkan dan menyelamatkan siapa," ujar Eko.
Eko turut menyoroti semakin banyaknya aktivis-aktivis yang mendapat teror. Uniknya, setelah ditelusuri dan diselidiki singkat, banyak nomor-nomor itu yang sama-sama berasal dari luar negeri.
Tidak cuma dari UII, UGM atau aktivis-aktivis di Yogyakarta, teror diterima aktivis-aktivis yang menolak revisi UU KPK dan hasil Pansel Capim KPK di daerah-daerah lain. Dari Unair dan Andalas, misalnya.